Selasa, 17 Maret 2009

Dongeng Itu Bernama Indonesia

Apakah benar Indonesia telah menjadi sebuah bangsa yang besar atau malah Indonesia justru gagal menjadi sebuah bangsa? Pertanyaan yang cukup menggelitik untuk dijawab. Beberapa waktu yang lalu Prof Susetyawan, mengungkapkan bahwa Indonesia telah gagal menjadi sebuah bangsa, atau dengan kata lain ada dua tujuan dari sumpah pemuda 1928 yang sampai saat ini belum dapat diwujudkan, yaitu menjadikan penduduk Indonesia merasa sebagai bangsa yang satu dengan tanah tumpah darah yang satu.

Satu tujuan dalam sumpah pemuda 1928 telah berhasil kita wujudkan, yaitu berbahasa satu, bahasa Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari peraturan yang seakan-akan memaksakan pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, maka jadilah bahasa Indonesia sebagai pemersatu penduduk Indonesia (walaupun masih banyak juga penduduk Indonesia yang tidak bisa atau sulit berbahasa Indonesia). Tapi persatuan kita tampaknya masih terbatas pada penggunaan satu bahasa yang sama, namun perasaan sebagai suatu bangsa yang satu dengan tumpah darah yang satu nampak belum terlalu kuat mengikat penduduk Indonesia.

Salah satu falsafah dasar pendirian negara kita adalah Bhineka Tunggal Ika, suatu falsafah yang konon katanya juga dipakai oleh sebuah kerajaan kuno di Nusantara yang bernama Majapahit. Dihikayatkan bahwa falsafah tersebut berhasil mengikatkan berpuluh-puluh suku yang hidup di bawah bendera kerajaan Majapahit yang terbentang luas, melebihi batas-batas NKRI saat ini. Oleh karena itulah, maka para founding fathers republic ini kemudian menggunakan falsafah yang sama untuk mengikat seluruh suku yang hidup di wilayah bekas teritori Nederlandsche Indie.

Bhineka Tunggal Ika, yang maknanya berkisar pada bahwa walaupun memiliki perbedaan yang banyak, hendaklah persatuan tetap dijunjung, mengharuskan sikap menghormati dan menghargai perbedaan yang ada dengan tetap mengutamakan kesatuan negara. Falsafah ini mencoba mengakomodasi primodialisme local dalam bingkai sebuah negara kesatuan. Sejarah mencatat bahwa ketika Indonesia menjadi sebuah negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dan berdaulat pada 19 Desember 1949, prinsip kebhinekaan itu tampaknya sering dilanggar sendiri oleh rezim yang berkuasa dengan mengatas namakan negara.

Prinsip kebhinekaan yang telah mendorong Teuku Daud Berueh untuk menyatakan bahwa Aceh menjadi bagian NKRI dengan syarat Aceh diperbolehkan untuk menegakkan syariat Islam di wilayahnya, prinsip kebhinekaan yang juga telah mendorong raja-raja Jawa menyatakan dukungan kepada negara yang baru lahir tersebut. Prinsip kebhinekaan ini pula yang mendorong penduduk etnis Tionghoa untuk ikut berjuang bersama bangsa pribumi demi menegakkan kedaulatan NKRI, dan pada akhirnya prinsip kebhinekaan ini pula yang mendorong Sultan Tidore bersama penduduk Papua Barat memilih bergabung dengan NKRI.

Namun kita bisa membaca dari buku-buku sejarah, bagaimana Ir Soekarno yang juga salah satu founding fathers NKRI kemudian mengkhianati janjinya kepada Teuku Daud Berueh dan rakyat Aceh, dengan menurunkan status Aceh dan menggabungkannya dengan propinsi Sumatera Utara. Pengabaian prinsip kebhinekaan ini pula yang mendorong Muhammad Natsir serta banyak perwira TNI di daerah melawan hegemoni kekuasaan Jakarta yang semakin otoriter.

Ketika akhirnya rezim berganti, harapan akan adanya penghormatan terhadap perbedaan yang ada kembali harus pupus. Tahun 1970-an struktur pemerintahan daerah diseragamkan oleh Soeharto. Berbagai system pemerintahan dan local wisdom yang selama berabad-abad mampu merwujudkan Soziale Ordnung (keteraturan sosial) dalam waktu relative singkat diganti dengan system pemerintahan Jawa. Gampong, Nagari, Marga dan semacamnya digantikan dengan desa. UU Simbur Cahaya yang sangat dijunjung oleh masyarakat Melayu karena merupakan manifestasi hukum Islam dan adat Melayu dihapus dan diganti oleh KUHP buatan penjajah.

Hasilnya adalah seperti yang dikatakan oleh Peter Waldman, terjadi moral ganda di tengah-tengah masyarakat, karena pergantian system moral yang berlangsung sangat cepat. Pada akhirnya hal ini menyebabkan muncul fenomena anomi sosial yang ditandai dengan tingginya tingkat pelanggaran hukum oleh masyarakat. Pergantian dari satu soziale ordnung ke soziale ordnung yang lain telah membuahkan kebingungan ditengah masyarakat yang hidup di dalam negara yang berfalsafah bhineka tunggal ika.

Sepanjang masa rezim Soeharto kita melihat berbagai bentuk usaha penyeragaman secara paksa oleh pemerintah pusat dengan dalih pembangunan. Falsafah bhineka tunggal ika dan dasar negara Pancasila yang dijadikan ideology tunggal pada masa itu seolah-olah hanya berlaku di mulut saja dan tidak diterapkan secara nyata. Rezim yang gencar mempromosikan nilai-nilai Pancasila lengkap dengan bhineka tunggal ika-nya justru penuh dengan berbagai tindakan busuk yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang termaktub di dalam keduanya. Apakah korupsi, otoritarianisme, kolusi, nepotisme, perampasan hak rakyat, pemiskinan sistematis terhadap satu golongan tertentu, penindasan dan penyeragaman paksa budaya nasional, merupakan nilai-nilai yang termaktub dalam pancasila?

Oleh karena itulah tidak mengherankan ketika rezim Soeharto tumbang pada 21 Mei 1998, masyarakat kebanyakan menjadi antipati dan pada akhirnya melupakan pancasila. Karena selama 30 tahun lebih kekuasaan Soeharto, pancasila telah digunakan sebagai alat untuk membenarkan berbagai tindakan represifnya. Sehingga jadilah pancasila yang pada awalnya penuh dengan nilai-nilai luhur nenek moyang kita, berubah menjadi sebuah sosok menakutkan sehingga harus dilupakan bersamaan dengan hancurnya rezim Soeharto.

Paska 1998, NKRI menghadapi problema yang sangat serius. Persatuan yang dipaksakan pada masa Ir Soekarno dan Soeharto telah menimbulkan trauma luar biasa di dalam hati kebanyakan penduduk daerah. Berbagai komunitas adapt mulai menuntut hak-hak budaya mereka yang dirampas secara paksa oleh Soeharto. Propinsi-propinsi yang semasa Ir Soekarno dan Soeharto dieksploitasi habis-habisan demi memenuhi nafsu serakah Jakarta mulai lantang berbicara tentang pemisahan diri. Suku Jawa yang identik dengan penguasa menjadi sasaran aksi balas dendam suku-suku lain sebagaimana yang terjadi di Aceh dan Papua. Tidak cukup sampai di situ saja, rakyat Indonesia yang pada masa Soeharto tampak seolah-olah telah terintegrasi menjadi satu bangsa, mulai mengidentifikasikan diri mereka dengan identitas kesukuan masing-masing. Di Jakarta berdiri Forum Betawi Rempug, dan banyak lagi organisasi dengan basis kesukuan lainnya.

Fenomena politik identitas inilah yang disinggung oleh Prof Susetyawan beberapa waktu lalu ketika memaparkan tentang kepemimpinan dalam era otonomi daerah. Tesis beliau adalah Indonesia belum menjadi sebuah bangsa, tetapi baru merupakan suatu kumpulan suku. Hal ini didukung dengan fakta bahwa politik identitas kesukuan masih sering muncul dan bukan identitas sebagai satu bangsa yang bernama Indonesia.

Apakah tesis Prof Susetyawan itu benar? Mungkin iya, sebagaimana telah dipaparkan diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa ikatan sebagai satu bangsa yang bernama Indonesia masih bersifat artificial yang muncul karena keterpaksaan, dan ketika factor yang memaksanya hilang maka ikatan tersebut akan luntur dan hasilnya, bisa kita lihat sendiri, di Kalimantan suku Dayak dan Melayu berperang dengan Suku Madura, di Jakarta Suku Banten berebut kekuasaan dengan Suku Madura, Betawi dan Timor. Di Maluku dan Poso Islam dan Kristen saling serang. Jika kita merasa sebagai satu bangsa, apakah hal ini akan terjadi? Pendapat saya pribadi, rakyat Indonesia belumlah merasa terikat sebagai satu bangsa, sehingga ketika terjadi suatu persoalan, politik identitas kesukuan akan langsung mencuat dan dapat dengan mudah mendapat dukungan dari masing-masing pihak yang bertikai.

Singkat kata, Saat ini belumlah ada bangsa yang bernama Indonesia, tapi yang ada saat ini adalah kumpulan suku-suku yang terikat dalam bingkai NKRI. Tapi belum terlambat rasanya untuk mulai membentuk bangsa yang bernama bangsa Indonesia.

Korupsi Sebagai Ancaman Laten Penjegalan Demokrasi

KORUPSI SEBAGAI ANCAMAN LATEN PENJEGALAN DEMOKRASI

(Disampaikan Pada Simposium Nasional KMAN FISIPOL UGM Dengan Tema 2009 Tanpa Korupsi Pada 28 Februari 2009)


Oleh :

RENDY DWI N.

NICOLO ATTAR

ATI KUSUMA P.

CELLY CICELLIA


PENDAHULUAN

Secara umum demokrasi dipahami sebagai perwujudan pemenuhan hak dan kewajiban warga Negara (civil society) dalam menentukan pilihan terhadap suatu sistem politik yang ada sehingga tercipta suatu kondisi dimana posisi masyarakat menjadi penentu dalam penetapan kebijakan pemerintah.

Konsep demokrasi merupakan gambaran terlaksananya secara kesinambungan komunikasi politik dimana komunikasi politik itu sendiri terdiri atas 2 tipe yaitu komunikasi politik antar elit dan komunikasi politik antara elit dan masyarakat karena pada hakekatnya komunikasi politik terjalin atas dua arah sehingga memerlukan umpan balik. Dan pelaksana atau komunikator politik Leonard W Dob yang dikutip dari A Rahman HI ( 2007 : 251 ) meliputi politikus sebagai komunikator politik yaitu orang orang yang memiliki otoritas untuk berkomunikasi sebagai wakil dari kelompok, Komunikator profesional dalam politik yang menghubungkan golongan elit dalam organisasi dengan kalayak masyarakat dan aktivis yang merupakan orang yang tidak menjadikan politik sebagai mata pencahariannya.

Profesionalitas komunikator politik adalah sebuah pencapaian nilai demokrasi yang mencakup lingkup pluralitas dan heterogenitas struktur sosial melalui perhatiannya terhadap dasar kehendak rakyat (The will of the people) sekaligus kebaikan bersama (The common good).

Dalam tataran praktis demokrasi dijalankan dalam kegiatan pemilihan umum yang memuat ciri-ciri :

1. Berdasarkan pemilihan

2. Pembatasan kekuasaan

3. Konsep stabilitas dan institusional

4. Menghargai kompetisi karena menghargai pluralisme serta heterogenisme

5. Keadilan dan perlindungan

Tahun 2009 yang merupakan tahun pelaksanaan pemilihan umum di indonesia sebagai titik kritis tuntutan publik akan terselenggaranya pemerintahan yang demokratis yang mampu berperan menumbuhkembangkan Good Governance sebagai suatu pola pikir mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang mampu mencerminkan reinventing government yang mengindikasikan adanya transformasi peranan pemerintah dari peranan langsung kearah peranan mengarahkan (steering) dan memberdayakan (empowering) masyarakat.

Secara leksikal dalam Kamus Ilmiah Populer ( 2006 : 267 ) korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan diri. Dalam kajian demokrasi, korupsi dapat dinilai sebagai ancaman laten penjegal demokrasi dimana penjegalan tersebut diklaim dalam prospektif tindakan korupsi dalam menghargai kompetisi karena menghargai pluralisme serta heterogenisme sebagaimana yang dicirikan dalam konsep demokrasi.

Dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum 2009 tindakan korupsi menjadi suatu ancaman laten yang krusial ketika aktor-aktor politik yang terlibat dalam kegiatan pemilihan umum dalam rangka partisipasi politik belum memahami sekaligus kurang memiliki rasa kepedulian secara benar dan detail mengenai lingkup korupsi sehingga tidak menutup kemungkinan ketidaktahuan tersebut mendorong para aktor dalam tindakan korupsi yang laten (baca : tersembunyi diam-diam) sehingga muncul kemungkinan peningkatan tindakan korupsi.

Latensi ancaman korupsi yang secara hakiki dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 21 Tahun 2001 dinyatakan dalam unsur-unsur tindakan memperkaya diri sendiri, melawan hukum dan merugikan negara, tersebut mengakar menjadi sebuah problema demokrasi yang nampak pada fenomena anomi sosial masa kampanye, sebagaimana diungkapkan oleh Eko Prasojo. Hal ini terjadi karena pada masa kampanye berbagai bentuk ketidaktaatan terhadap hukum yang berlaku dapat diungkapkan secara leluasa, mulai dari kecaman terhadap pemerintah incumbent pada saat rapat-rapat akbar, hingga ke politik uang (money politics) yang pada dasarnya fenomena anomi sosial yang tinggi di saat masa kampanye tersebut merupakan akumulasi ketidakteraturan sosial (social disorder) yang berlangsung dalam waktu lama.

Ancaman laten korupsi yang didorong oleh Ketidaktahuan para aktor partisipan Pemilihan Umum 2009 yang potensial untuk terjadi dan meluas menjadi patologi pemerintahan dapat berupa :

a) Penggunaaan keuangan negara dalam rangka memperkaya diri sekaligus memenuhi kebutuhan kelompok

b) Tindakan suap menyuap dalam bentuk money politics

c) Penggelapan dalam jabatan dimana aktor politik menggunakan fasilitas pejabat negara dalam melakukan kegiatan politis di luar kegiatan lembaga kerjanya

d) Pemerasan

e) Perbuatan curang baik dalam perhitungan suara maupun pelaksanaan kegiatan kampanye

f) Benturan kepentingan dalam pengadaan keperluan logistik Pemilu

g) Tindakan gratifikasi berupa pemberian hadiah terhadap pihak yang dinilai mampu memberikan peluang posisi politis

Kajian kritis ini berisikan tentang gambaran permasalahan korupsi yang menjadi ancaman dalam pelaksanaan kegiatan Pemilihan Umum 2009 dimana kegiatan korupsi merupakan suatu indikasi kegagalan mewujudkan demokrasi melalui Good Governance dimana para elit politik yang memangku otoritas dalam hasil Pemilihan Umum 2009 akan terdorong untuk bertindak secara ambivalen. Ambivalensi para elit politik pemangku otoritas merupakan sikap yang cenderung inabillity to fungtion yang ditunjukkan melalui ketidak jelasan prioritas kebijakan publik yang diimplementasikan dimana para elit politik pemangku otoritas akan mengimplementasikan suatu kebijakan yang menguntungkan bagi diri serta golongannya sekaligus mengabaikan peranan utamanya sebagai penyelenggara pelayanan publik.


Mengambil Pelajaran dari Pemilu 2004

Proses pemberantasan korupsi yang semakin gencar dilakukan oleh berbagai komponen bangsa, terus saja menghadapi berbagai rintangan. Salah satu rintang tersebut adalah peluang terjadinya tindak pidana korupsi yang masih terbuka lebar di berbagai instansi pemerintah yang tentunya akan banyak merugikan negara. Disamping itu tingkat pemahaman terhadap korupsi dari aparat birokrasi yang masih rendah juga merupakan tantang tersendiri.

Salah satu titik kritis dalam pemberantasan korupsi, terutama di instansi pemerintah adalah pada saat pengadaan barang dan jasa untuk kebutuhan instansi pemerintahan. Seringkali pengadaan barang dan jasa dilakukan dengan proses yang tertutup dan menyimpang dari koridor pelaksanaan baku yang diatur oleh Undang-undang, serta sarat dengan suap dan penggelembungan anggaran pengadaan barang dan jasa yang pada akhirnya merugikan negara.

Salah satu instansi yang membutuhkan banyak logistic untuk menjalankan tugasnya dalah KPU (Komisi Pemilihan Umum). Untuk menyelenggarakan pemilu, KPU harus menyediakan logistic mulai dari surat suara, bilik suara, kotak suara, tinta, hingga bahan-bahan untuk sosialisasi tahapan dan cara pemilu. Selain banyaknya kebutuhan logistic yang harus disediakan oleh pihak ketiga, untuk pengadaan logistic pemilu tersebut juga dibutuhkan anggaran yang cukup besar. Pos anggaran untuk KPU yang akan digunakan untuk menyelenggarakan pemilu tahun 2009 saja sebesar Rp 13,5 Triliun dan sebagian besar dipergunakan untuk pengadaan logistic pemilu.

Pada penyelenggaraan pemilu pada tahun 2004, yang merupakan pemilu kedua setelah masa reformasi, sejumlah kasus korupsi terjadi di dalam tubuh KPU. Korupsi yang terjadi di dalam tubuh KPU ini sebagian besar terjadi pada saat pengadaan logistic pemilu 2004. Tidak tanggung-tanggung mulai dari ketua KPU, Prof Nazarudin Syamsudin, anggota KPU Daan Dimara hingga pegawat Setjen KPU terjerat dalam pasal-pasal korupsi karena melakukan penunjukkan langsung terhadap pihak ketiga untuk mengadakan logistic pemilu. Penunjukkan langsung ini bertentangan dengan Undang-undang dan membuka indikasi suap dari pihak ketiga kepada pihak KPU.

Perkara Tindak Pidana Korupsi (TPK) yang melibatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sepanjang 2006 dan 2007:[1]

  1. 2 Perkara TPK yang berhubungan dengan pengadaan segel sampul surat suara pemilu tahun 2004 (Terpidana Untung Sastra Wijaya; Pidana: Penjara 5 tahun, denda Rp 250.000.000 subsidair 3 bulan, uang pengganti Rp 3.540.968.027,16 apabila tidak membayar dalam waktu 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap dan terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut maka terdakwa dipidana penjara 5 tahun dan Terpidana Daan Dimara; pidana: penjara 4 tahun dikurangi masa tahanan, dendan Rp 200.000.000 apabila tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan 2 bulan)
  2. 2 Perkara TPK yang berhubungan dengan pengadaan kotak suara Pemilu tahun 2004 (Terpidana Sihol P. Manulang; Pidana : 4 tahun penjara, denda Rp 200.000.000 subsidair 3 bulan)
  3. Perkara yang berhubungan dengan pengadaan buku dan barang cetakan untuk kepentingan Pemilu tahun 2004 (Terpidana FTK Harefa alias Tjejep Harefa; Pidana : 6 tahun penjara, denda Rp 300.000.000 subsidair 6 bulan, uang pengganti Rp 11.762.908.610, apabila tidak dibayar dipidana penjara 3 tahun)
  4. perkara yang berhubungan dengan pengadaan tinta untuk kepentingan pemilu legislative (terpidana Rusadi Kantaprawira; Putusan : Pidana penjara 4 tahun, denda Rp 200.000.000, subsidair 2 bulan kurungan dan Achmad Rojadi ; pidana : penjara 4 tahun dan denda Rp 200.000.000)
  5. 2 perkara TPK dalam pengadaan jasa asuransi petugas pemilu KPU
  6. Perkara yang berhubungan dengan penyuapan anggota KPU kepada pegawai BPK

Selain kasus diatas, beberapa anggota KPU lainnya seperti Prof Nazarudin Syamsudin dan Mulyana W Kusuma sudah terlebih dahulu dijatuhi vonis atas tindak pidana korupsi selama penyelenggaraan pemilu 2004. Kebanyakan kasus korupsi yang terjadi di KPU pada pemilu adalah kasus suap dan pengadaan barang melalui penunjukkan langsung. Adanya discretion yang sedemikian besar dimiliki oleh para anggota KPU ternyata berujung pada maraknya kasus korupsi yang bukan saja mencoreng proses demokrasi di Indonesia tetapi juga merugikan negara.

Banyaknya kasus korupsi yang dilakukan baik di KPU pusat maupun di KPUD, terutama pada saat pengadaan logistic pemilu, merupakan sebuah preseden buruk bagi proses demokratisasi di Indonesia. Hal ini bukan saja merugikan negara milyaran rupiah, tetapi juga mencoreng kredibilitas pemilu sebagai even demokrasi terbesar di negeri ini.

Disamping itu, kasus korupsi juga kemungkinan besar terjadi pada dana kampanye para partai politik peserta pemilu, maupun para calon presiden dan calon presiden. Hal ini tidak lain karena tidak lengkapnya laporan mengenai Rekening Khusus Dana Kampanye yang diamanatkan oleh pasal 9 J UU No 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik. Dari 24 partai politik peserta pemilu, sebagian besar hanya memberikan no rekening RKDK dan saldo awal. Padahal audit dana kampanye diharuskan oleh undang-undang, sehingga laporan RKDK tidak hanya mencakup no rekening, tetapi juga saldo awal, saldo akhir serta identitas penyumbang disertai dengan besaran sumbangan yang diberikan untuk keperluan kampanye dan penggunaan dana kampanye.

Namun praktiknya sebagian besar partai politik peserta pemilu 2004 tidak mentaati aturan ini. Hal ini tidak terlepas dari masih lemahnya peranan KPU dalam permasalahan audit dana kampanye peserta pemilu. KPU tidak memiliki inisiatif untuk memberikan sanksi kepada peserta pemilu yang tidak melengkapi laporan RKDK-nya. Disamping juga peraturan tentang RKDK yang masih sangat longgar, karena hanya mensyaratkan pencantuman nama dan alamat penyumbang sebagai identitas penyumbang yang menyumbang dengan nominal lebih besar dari Rp 5 Juta.[2] Akibatnya manipulasi data penyumbang maupun penyumbang fiktif tercatat banyak terjadi di dalam pemilu 2004. Hal ini juga mengakibatkan masuknya aliran dana illegal ke berbagai RKDK milik peserta pemilu 2004.[3]

Batas sumbangan bagi peserta pemilu, sebagaimana diamanatkan oleh UU No 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden telah membantasi ruang gerak bagi para penyumbang aktif peserta pemilu. Batasan besar sumbangan untuk peserta pemilu presiden dan wakil presiden sebagaimana tercantum dalam UU No 23 Tahun 2003 adalah sebesar Rp 100.000.000 untuk penyumbang perorangan dan Rp 750.000.000 untuk sumbangan dari badan hukum atau perusahaan. Selain itu berdasarkan peraturan, semua sumbangan yang bernilai lebih dari Rp 5.000.000 wajib dilaporkan ke KPU, dan disertai dengan jumlah sumbangan, identitas, dan alamat penyumbang yang jelas. Pelanggaran atas ketentuan di atas dapat dikenai pidana minimal kurungan 4 bulan dan maksimal 2 tahun serta subsider denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000.

Namun kenyataannya pada pemilu 2004, berbagai cara dilakukan oleh peserta pemilu untuk dapat berkelit dari ketentuan hukum yang berlaku, diantaranya adalah dengan cara memecah sumbangan yang melebihi batas maksimum sumbangan ke sejumlah sumbangan yang tidak melebihi batas maksimum dengan menggunakan nama penyumbang fiktif. Selain itu modus lainnya yang terjadi pada pemilu 2004 adalah dengan cara memberikan langsung sumbangan kepada pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Karena diberikan secara tidak langsung maka kemungkinan besar sumbangan ini tidak dicatat dalam laporan yang diserahkan ke KPU. Modus lainnya adalah dengan memecah besar sumbangan di bawah Rp 5.000.000 sehingga tidak wajib dilaporkan kepada KPU.[4]

Contoh kasus sumbangan atas nama beberapa perusahaan yang ternyata adalah milik satu konglomerat adalah sumbangan dana kampanye terhadap pasangan Megawati – Hasyim Muzadi. Untuk pasangan ini ada dua konglomerat yang nampak sangat royal memberikan sumbangan, yaitu Djoko Chandra dan Prajogo Pangestu. Kedua konglomerat ini pernah terjerat kasus hukum, walaupun kemudian dibebaskan. Djoko Chandra pernah terlibat dalam kasus Bank Bali dan Prajogo Pangestu pernah terlibat dalam kasus Chandra Asri dan dana reboisasi. Djoko Chandra menggunakan nama 17 perusahaannya yang masuk dalam Mulia Grup untuk menggelontorkan sumbangan sebesar Rp 12.725.000.000. Sedangkan Prajogo Pangestu menggunakan nama 15 perusahaannya yang tergabung dalam Barito Pacific menggelontorkan sumbangan sebesar Rp 6.950.000.000[5]

Tabel 1. Sumbangan Kelompok Djoko Chandra

NO

Nama Perusahaan

Jumlah

1

PT Tri Dharma Sakti Indah

Rp 750.000.000

2

PT Mulia Land Tbk

Rp 750.000.000

3

PT Bumi Mulia Perkasa Development

Rp 750.000.000

4

PT Five Pilars Indonesia Office Park

Rp 750.000.000

5

PT Mulia Persada Pacific

Rp 750.000.000

6

PT Mulia Cemerlang Dian Persada

Rp 750.000.000

7

PT Sanggar Mustika Indah

Rp 750.000.000

8

PT Mulia Indoland

Rp 750.000.000

9

PT Industrindo

Rp 750.000.000

10

PT Muliabarata Semesta

Rp 750.000.000

11

PT Mulia Intipelangi

Rp 750.000.000

12

PT Mulia Intan Lestari

Rp 750.000.000

13

PT Mulia Persada Tatalestari

Rp 750.000.000

14

PT Mega Mulia Keramik

Rp 750.000.000

15

PT Mulia Keramik Indahraya

Rp 750.000.000

16

PT Muliaglass

Rp 750.000.000

17

PT Persada Permatamulia

Rp 725.000.000

Total

Rp 12.725.000.000

Sumber : KPU, dalam __________, Pemilu 2004 Tidak Bebas Politik Uang! Laporan Pemantauan Dana Kampanye, Transparency International Indonesia: Jakarta, 2005, hal 25

Tabel 2. Sumbangan Kelompok Prajogo Pangestu

No

Nama Perusahaan

Jumlah

1

PT Tunggal Yudi Sawmill Polywood

Rp 250.000.000

2

PT Tunggal Agathis Indah Wood

Rp 750.000.000

3

PT Kampariwood Industries

Rp 500.000.000

4

PT Warayada Lintas Sukses

Rp 300.000.000

5

PT Delta Mustika

Rp 200.000.000

6

PT Jabar Utama Wood Industries

Rp 500.000.000

7

PT Sangkulirang Bhakti

Rp 200.000.000

8

PT Kencana Mahardika

Rp 350.000.000

9

PT Barito Pacific Timber

Rp 750.000.000

10

PT Mangole Timbers Producers

Rp 725.000.000

11

PT Griya Idola

Rp 750.000.000

12

PT Binajaya Roda Karya

Rp 550.000.000

13

PT Agrotama Subur Lestari

Rp 275.000.000

14

PT Wahaguna Margapratama

Rp 125.000.000

15

PT Tanjung Enim Lestari Pulp & Paper

Rp 725.000.000

Total

Rp 6.950.000.000

Sumber : KPU, dalam __________, Pemilu 2004 Tidak Bebas Politik Uang! Laporan Pemantauan Dana Kampanye, Transparency International Indonesia: Jakarta, 2005, hal 25

Kasus lainnya yang mencuat pada pemilu 2004 adalah politik uang dan penggunaan fasilitas negara oleh incumbent untuk melakukan kampanye. Penggunaaan fasilitas negara umumnya dilakukan oleh para pejabat yang masih menjabat.

Dalam surat edaran Panwaslu tanggal 11 Maret 2004 tentang pengawasan politik uang dalam kampanye, disebutkan: “Semua tindakan yang disengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah atau dengan sengaja menerima atau memberi dana kampanye dari atau kepada pihak-pihak yang dilarang menurut ketentuan Undang-Undang No 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu atau sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam laporan dana kampanye pemilu.”[6] Namun landasan hukum yang masih lemah menyebabkan pengawasan terhadap politik uang masih terlalu minim, dan akibatnya sanksi untuk kasus politik uang pun sangat minim. Dari 114 laporan politik uang selama kampanye pemilu legislative, sebanyak 58 kasus diteruskan ke pengadilan, 9 diputus denda atau penjara, 1 bebas, 11 kasus dalam tahap penyelidikan (saat laporan TII dikeluarkan pada 2005), 10 kasus sampai pada tahap persidangan, dan 27 kasus dihentikan penyelidikannya karena tidak cukup bukti.[7] Pada masa kampanye pemilu eksekutif, Transparansi Internasional Indonesia (TII) mencatat bahwa seluruh pasangan calon presiden dan calon wakil presiden melakukan politik uang. Yang paling besar dilakukan oleh pasangan SBY-Kall sebesar Rp 575.000.000, kemudian disusul oleh pasangan Wiranto-Wahid sebesar Rp 316.000.000, pasangan Mega-Hasyim sebesar Rp 180.000.000, Amien-Siswono sebesar Rp 125.000.000 dan Hamzah-Agum sebesar Rp 150.000.000.[8] Hal ini tentu saja menimbulkan kerugian bagi negara dan melanggar ketentuan pemilu.

Namun sekali lagi ketidaktegasan dari KPU malah menyuburkan pelanggaran yang dilakukan oleh peserta pemilu 2004.


Pemilu, Ajang Demokrasi Terbesar ataukah Ajang Pencurian Uang Rakyat?

Pemilu 2009 merupakan sebuah event demokrasi terbesar di Indonesia yang akan menampilkan elite politik untuk memerintah negeri ini selama 5 tahun kedepan. Bersamaan dengan proses demokratisasi yang masih dalam masa transisi ini selama 10 tahun reformasi banyak bermunculan elite politik instan yang merupakan kelompok masyarakat yang karena konstelasi hubungan politik, patronase, kekerabatan dan pertemanan dapat secara cepat menempati sekaligus menikmati posisi puncak di bidang tertentu.[9] Elite politik instant bukanlah kelompok elite yang diharapkan untuk memimpin suatu negara. Hal ini disebabkan karena kemampuan elite politik instant yang belum teruji dan masih besarnya kemungkinan terjadi egoisme kelompok elite politik instant tersebut. Berbeda dengan elite politik instant, elite politik sejati harus meniti karir politik dari jenjang terendah sebagai kader ke jenjang-jenjang di atasnya yang akan menempanya untuk dapat berpikiran terbuka dan pada akhirnya meningkatkan kemampuan kerjanya sebagai elite politik. Pada dasarnya elite politik instant hanya merupakan parasite yang akan mengganggu proses demokratisasi.[10] Karena yang diinginkan oleh proses demokratisasi adalah elite politik sejati yang benar-benar memliki kapasitas dalam menjalankan pemerintahan secara luas.

Proses transisi dari masa pseudo-demokrasi ke masa demokrasi sejati yang telah berlangsung selama 10 tahun belakangan telah memunculkan fenomena anomi sosial yang sangat tinggi. Anomi sosial merupakan kondisi ketika sebuah keteraturan sosial berada dalam tekanan, kehilangan legitimasi atau bahkan menemui kehancuran. Pada masa transisi ini, sebagaimana dikemukakan oleh Peter Waldman tingkat anomi sosial terjadi karena adanya moral ganda di dalam masyarakat dan penyesuaian terhadap norma-norma baru system demokrasi yang disebabkan oleh peralihan dari suatu keteraturan sosial (Soziale Ordnung) kepada keteraturan sosial yang lain.[11] Pada kondisi transisi ini fenomena anomi sosial tertinggi dapat ditemukan saat masa kampanye, sebagaimana diungkapkan oleh Eko Prasojo. Hal ini terjadi karena pada masa kampanye berbagai bentuk ketidaktaatan terhadap hukum yang berlaku dapat diungkapkan secara leluasa, mulai dari kecaman terhadap pemerintah incumbent pada saat rapat-rapat akbar, hingga ke politik uang (money politics). Pada dasarnya fenomena anomi sosial yang tinggi di saat masa kampanye merupakan akumulasi ketidakteraturan sosial (social disorder) yang berlangsung dalam waktu lama.

Disebabkan oleh hal tersebut maka intensitas berbagai macam pelanggaran hukum seperti tidak dilaporkannya rekening khusus dana kampanye, adanya nama donator fiktif pada laporan RKDK, atau bahkan terjadinya politik uang dari para oknum politisi dan birokrasi. Membuat kegiatan pemberantasan korupsi harus dilaksanakan secara lebih keras. Sementara itu pengalaman yang terjadi pada pemilu 2004 yang menjadikan KPU disorot tajam karena sejumlah kasus korupsi yang melibatkan banyak anggota KPU dan menimbulkan kerugian cukup besar bagi negara, juga berpotensi terulang pada pemilu 2009 jika tidak dilakukan usaha pencegahan oleh pihak terkait.

Ada dua isu dalam pemilu yang diindikasi bisa menjadi pintu gerbang peningkatan korupsi, yaitu masalah transparansi Rekening Khusus Dana Kampanye yang dimiliki oleh partai politik, calon anggota legislative dan pasangan calon presiden-calon wakil presiden, serta terbukanya kemungkinan penyelewengan dana penyelenggaraan pemilu yang besarnya mencapai lebih dari Rp 13,5 Triliun oleh KPU[12].


Rekening Khusus Dana Kampanye Kembali Menjadi Polemik

Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan pemilu pada tahun 2004, potensi terjadinya pelanggaran aturan kampanye oleh peserta pemilu baik pemilu legislative maupun pemilu eksekutif sangat terbuka lebar, hal ini diantaranya terjadi karena kelemahan KPU sebagai panitia penyelenggara pemilu, hal ini terbukti selama penyelenggaraan pemilu tahun 2004 KPU tidak pernah sekali pun menegur partai politik yang melanggar ketentuan mengenai Rekening Khusus Dana Kampanye yang diatur dalam pasal 9 J UU No 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik dan SK KPU No 676/2003 Tentang Tata Administrasi Keuangan dan Sistem Akuntansi Keuangan Partai Politik.[13] Hal ini tidak lain terjadi karena kapasitas KPU yang masih lemah, sehingga KPU hanya menerima laporan dana kampanye dari peserta pemilu dan kemudian mempublikasikannya kepada masyarakat umum, walaupun laporan keuangan tersebut memiliki banyak kekurangan.

Sama seperti yang terjadi pada pemilu 2004, kembali terjadi polemic dalam masalah audit RKDK (Rekening Khusus Dana Kampanye). Masalah ini timbul antara lain karena terbatasnya sumber daya yang dimiliki untuk melakukan audit terhadap RKDK. Hal ini disebabkan karena sedikitnya KAP (Kantor Akuntan Publik) yang bersedia mengaudit dana kampanye. Dari sebanyak 818 KAP diseluruh Indonesia, hanya 79 KAP yang bersedia mengaudit dana kampanye.[14] Untuk mengaudit sebanyak 18.000 laporan dana kampanye dari peserta pemilu 2009, jumlah akuntan sebanyak 689 sangatlah tidak mencukupi.[15] Ditambah dengan waktu audit yang hanya Selama 30 hari, pada akhirnya membuat IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) menyatakan tidak sanggup untuk mengaudit dana kampanye, sebagaimana disampaikan oleh ketua IAI, Ahmadi Hadisubroto.[16] Disamping itu biaya yang dibutuhkan untuk mengaudit dana kampanye peserta pemilu juga tidaklah sedikit. IAI dan IAPI (Institut Akuntan Publik Indonesia) memperkirakan total anggaran untuk melakukan audit atas 18.000 rekening dana kampanye adalah sebesar Rp 1 Triliun. Ongkos audit untuk setiap laporan dana kampanye diperkirakan Rp 60 juta. Dengan tarif auditor sekitar Rp 250.000 per jam dan waktu kerja 30 hari, total ongkos audit dana kampanye mencapai Rp 1 triliun.[17]

Untuk itu dapat dipastikan KPU tidak akan mampu mengemban amanat UU No 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu. Oleh sebab itu dibutuhkan Perpu untuk dapat membantu KPU mengemban amanat UU. Hal ini disebabkan karena kondisi darurat, berupa banyaknya rekening yang harus diaudit dengan jumlah akuntan yang sangat minim dan ditambah dengan waktu yang sangat sempit bagi KAP untuk melakukan audit rekening dana kampanye yang jumlahnya mencapai 18.000 rekening.[18]

Namun berbeda dengan pemilu 2004 yang memberikan batasan maksimal sumbangan perorangan sebesar Rp 100.000.000 dan badan hukum atau perusahaan sebesar Rp 750.000.000, pada UU No 10 Tahun 2008, batasan sumbangan maksimal dinaikkan menjadi Rp 1.000.000.000 untuk perseorangan dan Rp 5.000.000.000 untuk badan hukum atau perusahaan. Kenaikan batasan ini dilakukan untuk mengantisipasi kamungkinan pelanggaran oleh peserta pemilu dengan berbagai modus untuk berkelit dari ambang batas sumbangan.

Disamping itu hal lain yang membuat kemungkinan mengalirnya dana korupsi kepada peserta pemilu menjadi kecil, adalah kewajiban untuk mencantumkan identitas seluruh penyumbang ke peserta pemilu dan pencantuman NPWP untuk sumbangan yang lebih dari Rp 20.000.000. [19]

Pencantuman NPWP untuk sumbangan lebih besar dari Rp 20.000.000 banyak mendapat penentangan dari beberapa politis, diantaranya adalah Ferry Mursyidan Baldan, yang menyatakan bahwa tidak semua penduduk Indonesia mempunyai NPWP, disamping hal tersebut akan mempersulit penyumbang sehingga membuka kemungkinan turunnya jumlah penyumbang.[20] Keberatan yang hampir sama juga diungkapkan oleh Jusuf Kalla, yang menyatakan batasan pencantuman NPWP itu terlalu kecil, dia mengusulkan batasan pencantuman NPWP adalah untuk sumbangan diatas Rp 100.000.000[21]. Namun kalangan LSM, seperti ICW dan TII justru menyatakan bahwa batas Rp 20.000.000 untuk pencantuman NPWP masih terlalu besar, pihak LSM meminta batasan tersebut diturunkan menjadi Rp 5.000.000.[22]


Korupsi Dalam Tubuh KPU, Mungkinkah Terulang?

Disamping masalah tidak jelasnya asal-usul dan penggunaan Dana Kampanye dari peserta pemilu, masalah lain yang membayangi pelaksanaan pemilu 2009 adalah kemunngkinan terjadinya penyelewengan uang rakyat oleh KPU, sebagaimana terjadi pada pemilu 2004.

Menurut Wakil Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo dalam sejumlah DIPA (Daftar Isian Penggunaan Anggaran 2009) diduga terdapat beberapa penyelewengan tercatat, ada 16 proyek yang dituding bermasalah. Namun, di antara jumlah itu, ada empat proyek yang patut mendapat perhatian lebih. Proyek pemutakhiran serta pemeliharaan data pemilih menjadi anggaran pertama yang dicurigai. Untuk proyek tersebut KPU menganggarkan dana sebesar Rp 2,3 miliar. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Wakil Kordinator ICW Adnan Topan Husodo karena data pemilih untuk pemilu legislative sudah diperbaharui sejak Oktober 2008 sehingga tahapannya sudah lewat, sehingga seharusnya tidak perlu lagi mendapatkan alokasi dana. Disamping itu untuk beberapa proyek, tampak anggaran yang dialokasikan terlalu besar sehingga membuka peluang penyalahgunaan anggaran. Proyek lain adalah anggaran Rp 1,7 miliar yang dimaksudkan untuk fasilitasi kampanye pemilu anggota DPR dan DPRD. Kegiatan itu dinilai rancu. Sebab, tidak dijelaskan fasilitas seperti apa yang akan diberikan KPU. Terlebih, aturan KPU No 20/2008 hanya memfasilitasi pertemuan antarpeserta pemilu dalam kampanye damai.[23]

Kemungkinan terjadinya korupsi, terutama pada titik kritis pengadaan barang dan jasa untuk penyelenggaraan pemilu 2009, tampak semakin besar. Hal ini karena adanya keinginan dari KPU untuk mengajukan Perpres Penunjukkan Langsung Pengadaan Logistik Pemilu 2009 kepada presiden. Apapun alasan yang dikemukakan oleh KPU, seperti sudah mendesaknya waktu pengadaan pengadaan logistic justru menunjukkan kelemahan KPU dalam hal perencanaan tahapan pemilu. Hal ini justru perlu dihindari karena peluang terjadinya suap akan semakin besar, sebagaimana yang terjadi pada pemilu 2004 yang pada akhirnya menyeret sejumlah anggota KPU dan pegawai Setjen KPU ke pengadilan. Proses penunjukkan langsung untuk pengadaan logistic pemilu juga melanggar pasal 39 ayat 2 dan pasal 67 ayat 2 UU No 22 Tahun 2007, karena penunjukkan langsung hanya diperbolehkan dalam kondisi darurat. Sebenarnya ada beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh KPU untuk mengatasi semakin sempitnya waktu untuk pengadaan logistic pemilu 2009, diantaranya dengan mempersingkat tahapan pengadaan logistic tanpa harus melalui penunjukkan langsung. [24]

Disamping itu penunjukkan langsung juga melanggar Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa di Instansi Pemerintah. Terutama jika syarat-syarat penunjukan langsungnya tidak terpenuhi. pelanggaran terhadap Keppres tersebut akan semakin nyata jika dalam praktik penunjukan langsung, negara dirugikan karena penggelembungan harga. Apalagi jika ditemukan unsur penyuapan dan bid rigging, yakni pemberian uang pelicin oleh peserta lelang kepada panitia lelang.[25]

Kesimpulan

Korupsi merupakan sebuah istilah yang memiliki cakupan makna yang cukup luas baik dari pengertian maupun bentuk-bentuk pelaksanaan tindakan korupsi yang terjadi di lapangan. Selama ini korupsi tampak sebagai sebuah sistem yang sangat sulit di ubah karena terkait langsung dengan kultur dan moral manusia secara subjektif dari berbagai elemen yang terlibat dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan. Korupsi dapat dilakukan oleh aparat administratif paling bawah hingga jabatan yang tertinggi. Begitu juga dalam penyelenggaraan pemilu sebagai tonggak demokrasi yang melibatkan berbagai elemen pemerintah dan masyaarakat yang tidak pernah terlepas dari ancaman tindakan korupsi.

Dalam pemilu 2009 khususnya ada dua isu penting yang diindikasi bisa menjadi pintu gerbang terjadinya korupsi, yaitu masalah transparansi rekening khusus dana kampanye yang dimiliki oleh partai politik, calon anggota legislatif, dan pasangan calon presiden-calon wakil presiden, serta terbukanya kemungkinan penyelewengan dana penyelenggaraan pemilu oleh KPU. Hal tersebut dapat dikarenakan oleh berbagai hal, diantaranya peluang terjadinya korupsi yang memang selalu menyertai proyek pemerintah yang memiliki anggaran dana yang sangat besar serta proyek yang membutuhkan pengadaan barang dan jasa dalam skala besar pula.

Pemahaman terhadap sebab-sebab seseorang melakukan tindakan korupsi akan memberikan dasar untuk menemukan alternatif-alternatif pemecahan masalah korupsi. Upaya-upaya untuk mengatasi korupsi tidak hanya dilakukan dari segi yuridis, namun juga pembenahan dari segi etika dan moral manusia. Dalam perspektif perilaku birokrasi dan sistem administrasi negara, korupsi pada dasarnya terkait dengan konsep loyalitas yang dimiliki oleh para birokrat. Para birokrat kurang mampu mengidentifikasi kedudukannya sendiri sehingga sulit membedakan loyalitas terhadap keluarga, golongan, partai ataupun pemerintah. Korupsi juga seringkali melibatkan adanya kesepakatan timbal balik antara oknum birokrat dan pengguna jasa. Dilihat dari kompleksitas bentuk dan hubungan kausalitas yang ada, upaya pencegahan korupsi harus dilakukaan secara holistik dan melibatkan setiap unsur masyarakat. Konsistensi dan komitmen yang kuat menjadi sebuah titik vital terhadap upaya anti korupsi, karena sekuat apapun bingkai hukum yang ada untuk melindungi kapasitas seseorang dari tindakan korupsi, tidak akan berjalan dengan efektif tanpa adanya kesadaran dan komitmen orang itu sendiri. Pengawasan dan sikap masyarakat yang proaktif juga sangat penting, setiap unsur masyarakat dan pengelola negara harus senantiasa memiliki kepedulian yang besar terhadap isu-isu korupsi dan melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan setiap kali muncul gejala korupsi. Marilah kita mulai membangun kepedulian terhadap penyelenggaraan negara sebelum menuntut adanya perbaikan yang menyeluruh dalam sistem yang ada. Kondisi yang lebih baik akan terwujud jika kita mampu memberikan kontribusi positif dan mendukung upaya pemerintah dalam melakukan perubahan itu sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

__________, Pemilu 2004 Tidak Bebas Politik Uang! Laporan Pemantauan Dana Kampanye, Transparency International Indonesia: Jakarta, 2005

__________, Laporan Tahunan KPK Tahun 2006, KPK: Jakarta, 2007

­­­­­­­­­­­__________, Laporan Tahunan KPK Tahun 2007, KPK: Jakarta, 2008

Agustino, Leo. 2006. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta.

Budiarjo, Miriam. 2001. Dasar dasar Ilmu Politik. Jakarta ; Gramedia.

Dwiyanto, Agus. 2006. Mewujudkan Good Goverment Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta : UGM Press.

Erwan Agus Purwanto dan Wahyudi Kumorotomo. Birokrasi Publik : Dalam Sitem Politik-Semi Parlementer. Yogyakarta : Gava Media.

Jurnal Interaksi Vol. I No. 2 Maret 2001.Administrasi Negara UGM Yogyakarta

Katz, Saul M. 1985. Modernisasi Administrasi Untuk Pembangunan Nasional; Suatu Arahan Praktis. Terjemahan Tim Bina Aksara. Jakarta: Tim Bina Aksara..

Keban, Yeremias T. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik ; Konsep, Teori dan Isu. Yogyakarta : Gava Media.

Prasojo, Eko, Demokrasi di Negeri Mimpi: Catatan Kritis Terhadap Pemilu 2004 dan Good Governance, Departemen Ilmu Administrasi FISIPOL UI: Jakarta , 2005.

Ratminto dan Atik Septi Winarsih. 2008. Manajemen Pelayanan; Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter dan Standar Pelayanan Minimal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Salamm, Alfitra. 2007. Desentralisasi dan otonomi Daerah ; Desentralisasi, Demokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta : LIPI.

Subarsono, AG. 2006. Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Tim Prima Pena. 2006. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Gita Media Pers.

Utomo, Warsito. 2006. Administrasi Publik Baru Indonesia; Perubahan Paradigma Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wahab, Solichin Abdul. 2001. Analisis Kebijaksanaan : Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan. Jakarta : Bumi Aksara.

Website

http://antikorupsi.org/

http://ti.or.id/



[1] Laporan Tahunan KPK Tahun 2006 dan 2007

[2] __________, Pemilu 2004 Tidak Bebas Politik Uang! Laporan Pemantauan Dana Kampanye, Transparency International Indonesia: Jakarta, 2005

[3] http://antikorupsi.org/ Batas Sumbangan 20 Juta Rawan Manipulasi. Diakses Tanggal 19 Februari 2009

[4] __________, Pemilu 2004 Tidak Bebas Politik Uang! Laporan Pemantauan Dana Kampanye, Transparency International Indonesia: Jakarta, 2005, hal 19

[5] Ibid, hal 24-26

[6] Ibid, hal 52

[7] Ibid, hal 53

[8] Ibid, hal 51

[9] Prasojo, Eko, Demokrasi di Negeri Mimpi: Catatan Kritis Terhadap Pemilu 2004 dan Good Governance, Departemen Ilmu Administrasi FISIPOL UI: Jakarta , 2005

[10] Ibid

[11] Ibid

[12] http://antikorupsi.org/indo/content/view/14141/2/ diakses pada 19 Februari 2009

[13] __________, Pemilu 2004 Tidak Bebas Politik Uang! Laporan Pemantauan Dana Kampanye, Transparency International Indonesia: Jakarta, 2005

[14] http://antikorupsi.org/ Audit Dana Kampanye Rawan Pelanggaran. Diakses Tanggal 19 Februari 2009

[15]http://antikorupsi.org/ Biaya Audit Dana Kampanye Rp 1 Triliun. Diakses Tanggal 19 Februari 2009

[16] http://antikorupsi.org/ IAI Tak Sanggup Audit Dana Kampanye. Diakses Tanggal 19 Februari 2009

[17] http://antikorupsi.org/ Biaya Audit Dana Kampanye Rp 1 Triliun. Diakses Tanggal 19 Februari 2009

[18] Http://antikorupsi.org/ Amandemen atau Perpu Solusi Masalah Audit Dana Kampanye. Diakses Tanggal 19 Februari 2009

[19] http://antikorupsi.org/ Penyumbang Dana Kampanye Wajib Cantumkan NPWP. Diakses Tanggal 19 Februari 2009

[20] http://antikorupsi.org/ Dewan Tolak Penggunaan NPWP. Diakses Tanggal 19 Februari 2009

[21] http://antikorupsi.org/ Kalla Usul Sumbangan Pakai NPWP Diatas 100 Juta. Diakses Tanggal 19 Februari 2009

[22] http://antikorupsi.org/ Batas Sumbangan 20 Juta Rawan Manipulasi. Diakses Tanggal 19 Februari 2009

[23] http://antikorupsi.org/indo/content/view/14141/2/ diakses pada 19 Februari 2009

[24] http://www.ti.or.id/press/91/tahun/2009/bulan/01/tanggal/09/id/3784/ diakses pada 19 Februari 2009