Sabtu, 18 Agustus 2012

Ibrah Ramadhan: Umat Muslim Sebagai Rahmatan lil ‘alamin


Ibrah Ramadhan: Umat Muslim Sebagai Rahmatan lil ‘alamin
Oleh: Rendy Dwi Novalianto S.I.P.

5 Agustus 2012 sebuah Gurdwara Sikh di Oak Creek, Wisconsin ditembaki oleh seorang yang diduga terinspirasi doktrin supremasi kulit putih. Tujuh orang yang sedang beribadah di dalam Gurdwara tersebut tewas.  Beberapa hari kemudian pada 7 Agustus, anggota parlemen dari partai Republik Joe Walsh mengeluarkan pernyataan berbau rasis saat pertemuan di balaikota Elk Grove, Illionis. Ia menyatakan bahwa kaum Muslim “mencoba membunuh warga Amerika tiap hari”. Menurutnya umat Muslim merupakan ancaman nyata bagi Amerika, dan ancaman dari Muslim di dalam negeri Amerika jauh lebih nyata dari sebelum serangan 9/11.

Selama awal agustus 2012 setidaknya terjadi 7 serangan terhadap tempat ibadah kelompok minoritas yang berasal dari Timur Tengah dan Asia Selatan di Amerika Serikat. Salah satunya sebuah Masjid di Joplin, Missouri dibakar habis oleh orang tak dikenal pada 6 Agustus lalu. Serangan tidak terbatas pada Masjid, Gereja The Mother of Savior yang digunakan oleh kaum Kristen Arab di Deaborn, Michigan dalam minggu ini dua kali kaca-kacanya dipecahkan.

Serangan-serangan terhadap minoritas yang terjadi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa di negara dengan demokrasi yang cukup matang dan perlindungan hak-hak minoritas yang cukup baik dalam konstitusinya masih rentan terhadap permasalahan rasisme. Perjuangan untuk kesetaran ras telah menempuh perjalanan panjang dan berliku di Amerika Serikat, namun sebagian masyarakat Amerika Serikat tampak masih belum bisa mengakomodasi perbedaan. 

Islamophobia yang menjadi isu hangat selama masa kampanye pemilu presiden tahun 2008 kembali menghangat pada kampanye pemilu presiden tahun ini. Namun sayangnya kampanye Islamophobia ini tidak hanya berakibat pada umat Muslim Amerika Serikat saja, tetapi juga menyasar pendatang dari Asia Selatan dan Timur Tengah secara umum, baik Muslim, maupun non-Muslim.

Jika di Amerika Serikat kebencian rasial ditujukan kepada pendatang dari Asia Selatan dan Timur Tengah, di Indonesia kebencian rasial ditujukan kepada etnis Tionghoa, suku-suku Papua, selain itu diskriminasi juga ditujukan kepada penganut Ahmadiyah dan penganut Kristen. Sebagai sebuah negara berpenduduk mayoritas Muslim, Indonesia harusnya bisa melindungi hak-hak minoritas, menjamin penghormatan terhadap keberbedaan yang hidup di dalam kerangka keindonesiaan.

Umat Muslim Indonesia terikat pada ajaran-ajaran syariat Islam yang memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Oleh karena itu Umat Muslim Indonesia harusnya bisa mengayomi kelompok-kelompok minoritas, bukan berusaha menunjukkan supremasi dan hegemoni atas kelompok-kelompok minoritas.

Insiden penyerangan Klenteng yang merupakan tempat ibadah etnis Tionghoa di Makassar yang dilakukan FPI setelah demonstrasi solidaritas Rohingya dan penyerangan terhadap masjid-masjid Ahmadiyah selama Ramadhan di Kuningan menunjukkan bagaimana umat Muslim Indonesia belum bisa menjadi mengayomi minoritas. Adalah sangat memalukan umat Muslim ketika penyerangan oleh kelompok-kelompok umat Muslim tersebut dilakukan saat bulan suci Ramadhan. Bulan ketika umat Muslim didorong untuk mempromosikan solidaritas sosial, bulan ketika umat Muslim berlatih menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Kelompok-kelompok supremasi Muslim tersebut pada dasarnya gugup dan tidak yakin pada pondasi keimanan mereka, sehingga mereka merasa perlu menunjukkan semangat keimanan semu merek dengan menyerang kelompok-kelompok lain yang berbeda dengan mereka. Syariat Islam tidak pernah mengajarkan untuk mempromosikan kekerasan terhadap minoritas. Bukankah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam mengajarkan kepada kita bahwa siapa pun dari kalangan Muslim yang membunuh kafir dzimmi, kafir yang dilindungi maka ia tak akan mencium bau surga? 

Bulan Ramadhan yang seharusnya menjadi bulan saat kita menahan emosi kita justru tampaknya tidak bisa mengekang amarah sejumlah kelompok yang mengatas namakan Islam.  Bukankah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam juga pernah bersabda hingga tiga kali, “jangan marah”? tapi mengapa umat Muslim sekarang tampak gampang sekali disulut kemarahannya?

Hal penting yang perlu ditekankan adalah menunjukkan solidaritas berbeda dengan melampiaskan amarah. Solidaritas kita terhadap umat Muslim Rohingya tidak mewajibkan kita untuk menyerang tempat-tempat ibadah umat Buddha, pun demikian solidaritas kita terhadap Sunni Syria tidak mewajibkan kita menyerang Syiah Indonesia, juga solidaritas terhadap Palestina tidak paralel dengan sikap diskriminatif terhadap Yahudi Indonesia. Solidaritas bisa ditunjukkan dengan mendoakan, menggalang bantuan kemanusiaan dan kampanye kesadaran terhadap penderitaan umat Muslim, sambil tetap menjaga dan melindungi minoritas yang hidup di Indonesia.

Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam teladan kita semua pernah bersabda, “Barangsiapa yang tidak mengasihi yang ada di bumi, maka ia tak akan dikasihi yang ada di langit”. Dalam hadits mulia ini, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam memparalelkan kasih kita terhadap sesama, baik Muslim maupun non-Muslim, terhadap hewan, tumbuhan dan lingkungan hidup dengan kasih Allah ‘Azza wa Jalla.
Ajaran kasih Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam ini harusnya menjadi inspirasi bagi kita umat Muslim, untuk menjadi sebenar-benarnya Rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi sekalian alam. Rahmat berarti anugrah kasih, penebar manfaat, pelindung dan penjaga seluruh alam. Rahmatan lil ‘alamin tidak membeda-bedakan kasihnya, apakah hanya kepada sesama saja. Bahkan rahmatan lil ‘alamin mewajibkan umat Muslim untuk menebarkan kasih bagi mereka yang berbeda dengannya.

Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam juga pernah bersabda kepada sahabat-sahabatnya bahwa mereka tak akan beriman hingga mereka saling mengasihi, saling menjadi rahmat satu dengan lainnya. Para sahabat kaget dan bertanya bukankah mereka sudah saling kasih-mengasihi sesama mereka?. Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam menjawab bahwa maksudnya bukan itu, ia bersabda tak akan beriman salah seorang dari kalian hingga ia  bisa mengasihi, bisa menjadi rahmat tidak saja kepada mereka yang sama, sepaham, sesuku, satu ras, satu golongan dengannya, tapi juga bisa mengasihi, menjadi rahmat dan pelindung mereka yang berbeda dengannya.

Selama Ramadhan yang baru saja berlalu kita telah ditempa untuk menjadi Muslim sejati. Muslim yang memiliki solidaritas sosial dan kasih kepada sesama dan kepada yang berbeda. Selama Ramadhan kita diajarkan untuk menahan amarah, mengendalikan emosi kita. Singkat kata selama Ramadhan kita dilatih untuk menjadi rahmatan lil ‘alamin.

Seharusnya selama Ramadhan kita juga bisa mengendalikan lisan kita dari menghujat mereka yang berbeda dengan kita. Bukankah dakwah bisa dilakukan dengan hikmah? Ataukah dalam benak kita sudah tertanam bahwa dakwah harus dengan cara menghujat mereka yang berbeda dengan kita?.  Esensi ajaran Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin juga mewajibkan umat Muslim sebagai mayoritas untuk menjadi pengayom, menjadi pelindung sekaligus panutan bagi kelompok-kelompok minoritas. Namun sangat disayangkan selama Ramadhan kemarin kita disuguhkan berbagai ceramah yang memojokkan sejumlah pihak, mulai menghina dan menghujat Wahabi hingga ceramah-ceramah rasis yang ditujukan kepada etnis Tionghoa, yang celakanya dilakukan di masjid-masjid yang harusnya menjadi corong rahmat, bukan corong fitnah.

Dengan berlalunya ramadhan kali ini, semoga kita umat Muslim bisa mengambil pelajaran berharga untuk pendewasaan kita agar dapat menjadi sebenar-benar rahmatan lil ‘alamin.  Menjadi Muslim yang menghormati hak-hak minoritas, menjadi rahmat bagi mereka yang berbeda dengan kita, dan menjadi pengayom serta contoh di dalam kehidupan bernegara, sehingga Indonesia dapat menjadi baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur. Negara yang sejahtera, aman, makmur, yang dirahmati Tuhan yang maha pengampun.

Sholat Ied pagi nanti akan menunjukkan bagaimana secara kuantitas umat Muslim sudah superior, namun yang belum bisa ditunjukkan oleh umat Muslim Indonesia adalah superioritas umat Muslim dalam kebaikan, dalam perlindungan hak-hak sipil, perlindungan minoritas, superioritas dalam solidaritas kemanusiaan dan perjuangan untuk kesetaraan demi Indonesia yang lebih baik.

Seiring dengan syahdunya gema takbir yang membahana malam ini, mari kita sekali lagi renungkan pesan-pesan kasih dan egaliterianisme ajaran Islam. Apakah kita mau menjadi seperti kelompok supremasi kulit putih di Amerika Serikat yang menunjukkan superioritasnya dengan meneror kelompok yang berpenampilan, berbudaya dan berkeyakinan berbeda dengan mereka, atau dengan menjadi rahmat bagi mereka yang berbeda, sebagai manifestasi sebenar-benarnya rahmatan lil ‘alamin.

Akhir kata, Taqabalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum, qiyamana wa qiyamakum. Semoga Allah yang Maha Kasih menerima amal ibadah kita semua, puasa kita semua dan sholat malam kita semua selama bulan penuh rahmat ramadhan yang baru saja berlalu. Selamat ‘Idul Fitri 1433 H, semoga paska Ramadhan kita bisa menjadi sebenar-benarnya rahmatan lil ‘alamin.

Kebencian Rasial di Myanmar dan India: Pelajaran untuk Multikuturalisme Indonesia. 

Oleh: Rendy Dwi Novalianto, S.I.P.


Ramadhan tahun ini umat Muslim dikejutkan oleh kabar pembersihan etnis yang dilakukan oleh etnis Rakhine yang beragama Buddha dan pemerintah Myanmar kepada etnis Rohingya yang beragama Islam di negara bagian Rakhine (dulu bernama Arakan). Pembersihan etnis yang telah menewaskan 650 orang, 1.200 orang hilang dan lebih dari 90.000 orang mengungsi ini berawal dari insiden pemerkosaan seorang wanita etnis Rakhine yang diduga dilakukan oleh empat pemuda etnis Rohingya. Walaupun tidak ada proses pengadilan dan pembuktian terhadap kasus ini, namun isu yang beredar sudah cukup untuk memicu kerusuhan antar dua komunitas yang sejak lama sudah memendam kebencian.

Apa yang pada awalnya adalah kerusuhan antar etnis kemudian berubah menjadi pembersihan etnis secara sistematis setelah polisi dan tentara Myanmar ikut campur. Campur tangan militer Myanmar bukan untuk meredam konflik yang terjadi, tapi justru menambah parah situasi dengan berpihak pada salah satu pihak yang terlibat. Etnis Rohingya yang tidak diakui oleh pemerintah Myanmar sebagai warga negara Myanmar pun menjadi sasaran pembersihan etnis. Slogan bahwa Rohingya adalah imigran dari Bangladesh terus dipropagandakan oleh pemerintah, media dan bahkan para aktivis demokrasi di Myanmar. Bahkan Presiden Myanmar Thein Sein menyatakan bahwa solusi untuk permasalahan Rohingya adalah dengan mendeportasi mereka dan menempatkannya ke negara ketiga yang bersedia menampung mereka.

Paralel dengan yang terjadi di Myanmar, pembersihan etnis yang menyasar umat Muslim juga terjadi di negara bagian Assam, India. Sejak bulan Juli lalu setidaknya 80 orang tewas dan sekitar 400.000 jiwa mengungsi ke 125 barak pengungsian di penjuru Assam dan Bengal. Kerusuhan antara komunitas Muslim yang mayoritas berasal dari etnis Benggali dan suku Bodo ini berawal dari pembunuhan empat pemuda Bodo oleh pelaku tidak dikenal, yang kemudian oleh suku Bodo dituduhkan kepada komunitas Muslim.

Sekali lagi isu yang belum jelas kebenarannya cukup menjadi pemantik kerusuhan antar dua komunitas yang memendam curiga dan benci sejak lama. Di Assam komunitas Muslim merupakan minoritas terbesar dengan persentase mencapai 35 persen dari 30 juta penduduk Assam. Mayoritas Muslim berasal dari etnis Benggali.

Arakan: Sejarah kebencian antar dua komunitas.
Kebencian yang terpendam terhadap komunitas Muslim di tiga kawasan yang berdekatan ini berasal dari isu yang hampir sama. Di Myanmar etnis Rohingya dianggap sebagai pendatang dari Chittagong. Keberadaannya di Arakan dianggap mengancam dominasi etnis Rakhine dan eksistensi agama Buddha. Walaupun Rohingya merupakan penduduk asli Arakan dan lebih dulu menetap di Arakan daripada etnis Rakhine. Bukti sejarah yang ada menunjukkan bahwa Rohingya sudah menetap di Arakan sejak abad ke 8. Bahkan pada 788 masehi Rohingya yang masih beragama Hindu dan Buddha Mahayana telah mendirikan kerajaan Chandra yang beribukota di Wesali. Wilayah kekuasaannya meliputi Arakan di Myanmar hingga Chittagong di Bangladesh. Baru pada abad ke 10 etnis Rakhine yang berasal dari dataran tinggi Tibet dan beragama Buddha Theravada mulai menetap di Arakan. Rohingya dan Rakhine berbeda sejak dahulu. Rohingya merupakan Indo-Arya dan dulu beragama Hindu dan Buddha Mahayana kemudian sejak abad ke ke 10 berangsur-angsur menjadi Muslim. Sedangkan Rakhine yang berkulit lebih putih merupakan Sino-Tibetan dan beragama Buddha Theravada.

Jika Rohingya sejak lama berafiliasi ke Benggala, Rakhine sejak lama berafiliasi ke Pagan (Burma). Ketika Benggala secara resmi menjadi negara Islam pada 1203, Rohingya secara pelan tapi pasti juga berpindah keyakinan menjadi Muslim. Puncaknya pada 1430 ketika raja Rohingya Min Saw Mun dari kerajaan Mrauk U yang kembali dari pengasingan di Benggala mengadopsi nama Islam Sulaiman Shah. Dengan bantuan Wali Khan dan dukungan dari Sultan Benggala Jalaludin Muhammad Shah Sulaiman Shah berhasil merebut kembali kerajaannya yang sempat diduduki Pagan. Sejak 1430 hingga 1784 Arakan dikuasai kerajaan Mrauk U yang beretnis Rohingya dan beragama Buddha Mahayana dan Islam. Walaupun masih beragama Buddha para penguasa Mrauk U menggunakan nama-nama dan simbol-simbol Islam. Bahkan Lashkar Wazir (Menteri Pertahanan) secara rutin dipegang Muslim, seperti Ashraf Khan. Kerajaan Mrauk U juga menerapkan hukum yang berasal dari ajaran Islam dan mengangkat Muslim sebagai Qazi, seperti Daulat Qazi dan Abdul Karim Qazi untuk menjaga ketertiban umum. Sultan Sulaiman Shah juga menerapkan bahasa Parsi sebagai bahasa administrasi kerajaan dan mengeluarkan koin dengan cetakan kalimat La ilaha ilallah.

Pada 1784 Mrauk U dikuasai oleh Pagan dibawah kepemimpinan Raja Bodawpaya. Invasi ini melengkapi gelombang kedatangan etnis Sino-Tibetan yang beragama Buddha Theravada sejak abad ke 10. Paska invasi ini banyak etnis Indo-Aryan dan suku-suku asli yang beragama Hindu, Buddha Mahayana dan Islam berpindah ke Chittagong, bahkan Cox’s Bazar dibangun khusus untuk pemukiman pengungsi Rohingya dan Kamans yang saat itu banyak yang beragama Buddha Mahayana. Sementara suku-suku lainnya seperti Chin, Mro dan Khami memilih berpindah ke pegunungan yang jauh dari jangkauan Rakhine dan Pagan. Paska invasi Pagan ke Arakan konversi Rohingya dan Kamans ke Islam terjadi secara masal. Cox’s Bazar yang dulu didiami oleh penganut Buddha Mahayana kini hampir seluruhya Muslim. 

Oleh etnis Rakhine dan Burma secara umum etnis Rohingya dianggap bertanggung jawab atas pendudukan Inggris atas Burma. Adalah 20.000 lebih etnis Rohingya dan keterunan raja Mrauk U yang sejak 1784 mendirikan basis perlawanan atas Pagan di Cox’s Bazar dan secara rutin menyerang Arakan. Atas sebab inilah kemudian Inggris ikut campur dan membantu etnis Rohingya merebut Arakan kembali, tapi tidak untuk sepenuhnya merdeka, tapi dibawah kekuasaan Inggris.

Kebencian rasial tidak hanya terbatas terjadi di Arakan, di kawasan lainnya di Myanmar sikap rasis pemerintah Myanmar dan mayoritas etnis Burma ditunjukkan pada diskriminasi kepada etnis Chin, Mro, Khami, Karen dan Kachins yang saat ini mayoritas beragama Kristen. Selain itu sikap rasis etnis Burma telah mengakibatkan beberapa kali kerusuhan rasial yang menarget warga Indo-Arya baik yang beragama Muslim dan Hindu pada 1930 dan 1938. Akibatnya paska perang dunia kedua lebih dari 500.000 etnis Indo-Arya mengungsi ke India dan Pakistan Timur (Saat ini Bangladesh).

Assam dan Nagaland: Penduduk asli vs pendatang
Sementara itu di Assam komunitas Muslim Benggali yang bermigrasi ke Assam sejak abad ke 18 dianggap dapat mengancam eksistensi Suku Bodo, salah satu suku asli Assam yang beragama Hindu. Suku-suku asli Assam sejak lama sudah memusuhi etnis Muslim Benggali yang menguasai sektor perekonomian di Assam. Sejak abad ke 19 Muslim Benggali secara teroganisir didatangkan oleh Inggris untuk meningkatkan produksi pertanian di sepanjang dataran rendah Assam, sejak itu Muslim Benggali menguasai sektor perekonomian terutama pertanian dan perdagangan di Assam.

Assam dan Nagaland yang merupakan bagian dari India berada di kawasan yang dikelilingi oleh China, Bhutan, Bangladesh, dan Myanmar. Kawasan ini dihuni oleh sekitar 200 suku, yang mayoritas secara rasial lebih mirip dengan penduduk China dan Myanmar. Sejak kemerdekaan India kawaan ini selalu diguncang isu separatisme. Assam merupakan negara bagian terbesar dan paling kompleks di kawasan ini. 

Di Assam penduduk asli seperti Suku Bodo dan Lalung sejak lama memusuhi Muslim Benggali. Ada dua sebab yang mendasari kebencian suku-suku asli Assam terhadap Muslim Benggali. Pertama adalah karena mereka pendatang dan secara fisik mereka berbeda dari suku-suku asli Assam. Muslim Benggali mulai menetap di Assam bersamaan dengan invasi Mughal pada abad 17 awal. Namun Muslim Benggali mulai menetap secara masal pada masa penjajahan Inggris. Pada akhir abad 18 dan awal abad 19 Muslim Benggali didatangkan secara terorganisir untuk mengelola kawasan lembah Assam. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan hasil pertanian di Assam. Akibatnya pertanian di Assam berkembang pesat dan secara perlahan Muslim Benggali mulai menguasai sektor-sektor perekonomian di Assam. Sebab kedua adalah ketakutan suku-suku asli akan dominasi Muslim Benggali. Suku-suku asli Assam sejak masa Mughal sudah berperang untuk independensinya. Sejak kemerdekaan India perjuangan suku-suku asli ini tidak berhenti, bahkan semakin terorganisir. Akibatnya Assam pada tahun 1960an dipecah menjadi negara-negara bagian kecil untuk memuaskan tuntutan suku-suku asli.  Nagaland, Meghalaya dan Mizoram dibentuk berdasarkan garis kesukuan. 

Persoalan tidak selesai dengan pembentukan negara-negara bagian tersebut. Pada tahun 1980-an suku-suku asli memulai Agitasi Assam sebagai reaksi atas meningkatnya jumlah Muslim Benggali. Peningkatan jumlah Muslim Benggali ini dianggap dapat mengancam dominasi suku-suku asli dan berdampak pada perjuangan mereka untuk menuntut otonomi dari pemerintah India. Selama 6 tahun Agitasi Assam setidaknya 2.500 Muslim Benggali tewas. Insiden paling berdarah terjadi ketika pada Februari 1983 Suku Lalung melancarkan pembersihan etnis di Nellie. Sekitar 1.600 Muslim Benggali tewas dalam insiden yang terjadi selama dua hari tersebut. 

Selain itu suku-suku asli bekerja sama dengan kelompok Nasionalis Hindu menggulirkan isu Mughalistan, yaitu usaha untuk mengubah demografi India Utara menjadi Mayoritas Muslim, sehingga akan memudahkan penyatuan Pakistan dan Bangladesh. Ketakutan akan dominasi Muslim menajam di Assam setelah Assam United Democratic Front (AUDF) sebuah partai yang didominasi Muslim dan kelompok-kelompok Muslim fundamentalis menuntut sebuah wilayah administrasi khusus di enam distrik yang didominasi Muslim di Assam Barat. Tuntutan ini mendapatkan reaksi keras dari Suku Bodo karena kawasan yang dituntut AUDF beririsan dengan Bodoland Tribal Autonomous Council yang dibentuk delapan tahun lalu untuk meredam tuntutan separatisme Suku Bodo.

Selain dominasi ekonomi, Muslim Benggali secara perlahan juga mulai mendominasi politik dan penguasaan tanah di Assam. AUDF saat ini menguasai 16 kursi dari 126 kursi parlemen Assam, sementara partai-partai Hindu nasionalis dan suku-suku asli Assam hanya meraih kurang dari 10 kursi parlemen Assam.

Nagaland yang merupakan pecahan Assam yang didominasi suku Naga juga memiliki masalah dengan Muslim Benggali. Sama dengan yang terjadi di Assam, Muslim Benggali yang jumlahnya bertambah pesat dianggap bisa merubah demografi Nagaland dan dapat berujung pada hilangnya hegemoni Suku Naga atas Nagaland. Selain itu penguasaan ekonomi dan secara perlahan penguasaan politik oleh Miyas (Muslim Benggali) semakin membuat kecurigaan antar komunitas terus tumbuh. Bersamaan dengan kerusuhan rasial di Assam, The Naga Council menyatakan akan menarget Miyas dalam usaha melindungi hegemoni Suku Naga. The Naga Council menyatakan akan mulai mengidentifikasi Muslim Banggali sebagai langkah awal untuk usaha pembersihan etnis secara sistematis dengan cara mendeportasi Muslim Benggali dari Nagaland.

Akar masalah yang sama
Di tiga wilayah tersebut dapat dilihat kesamaan akar masalah yang berujung pada kerusuhan rasial. Xenophobia atau rasa takut dan curiga berlebihan kepada kelompok masyarakat yang berbeda baik secara fisik, budaya, bahasa dan keyakinan. Xenophobia di Myanmar selain melanda masyarakat awam juga tampak dipropagandakan oleh pemerintah demi tujuan-tujuan politik tertentu. Dilihat dari sisi politik praktis junta militer Myanmar memiliki kepentingan untuk terus mempromosikan kebencian rasial antara Rohingya dengan Rakhine. Di Arakan secara umum junta militer selalu dibenci baik oleh Rohingya maupun Rakhine. Gerakan pro demokrasi yang melanda Myanmar beberapa tahun lalu juga dipelopori oleh Rakhine di Arakan. Untuk memenangkan dukungan politis Rakhine dan etnis Burma junta militer perlu untuk berpihak dan mengeksploitasi isu rasial ini. 

Latar belakang ini juga yang kemudian membuat Aung Sang Su Kyi dan sejumlah aktivis pro demokrasi Myanmar tampak gagap ketika dihadapkan pada isu Rohingya. Dukungan kepada oposisi sangat kuat di kalangan Rakhine, jika Aung Sang Su Kyi mengambil langkah yang dianggap berlawan dengan aspirasi etnis Rakhine, bukan tidak mungkin pihak oposisi dapat kehilangan dukungan utama mereka dari kalangan etnis Rakhine.

Xenophobia yang ditujukan oleh masyarakat dan pemerintah Myanmar dalam kasus Rohingya ini menunjukkan bahwa Myanmar belum siap untuk berinteraksi dan menjadi bagian dari masyarakat global. Kampanye Islamophobia yang kemudian juga digencarkan sebagai usaha memotret Rohingya sebagai teroris-jihadis oleh segelintir pihak di Myanmar semakin menunjukkan rasisme masih menjajah pikiran sebagian masyarakat Myanmar.

Hal yang serupa terjadi di Assam dan Nagaland. Ketakutan terhadap dominasi budaya yang berbeda menjadi dasar utama kampanye anti Muslim Benggali. Xenophobia yang berkembang akibat isolasi dan doktrin supremasi diri ini tampaknya merupakan hal yang lumrah di kalangan penduduk Assam, Tibet dan Myanmar. Insiden rasial yang diakibatkan xenophobia telah berkali-kali terjadi di kawasan ini. Pada awal abad ke 20 pernah terjadi pengusiran etnis India dari Tibet, pada 1990-an Bhutan mendeportasi puluhan ribu warga negaranya yang berasal dari etnis Nepal, Myanmar mendeportasi 500.000 keturunan India segera setelah kemerdekaanya, sementara pada tahun 1970-an kerusuhan anti Tionghoa menyebabkan ratusan etnis Tionghoa tewas dan puluhan ribunya meninggalkan Myanmar.

Insiden di Myanmar dan India juga sama-sama didasarkan pada keppentingan ekonomi. Jika di Assam dan Nagaland Muslim Benggali secara bertahan tapi pasti mulai mendominasi penguasaan tanah, perekonomian dan politik, di Myanmar berbagai kemudahan yang diberikan Inggris kepada ras Indo-Arya selama penjajahannya telah memupuk kecemburuan sosial. Ditambah lagi fakta penggunaan bahasa Hindi sebagai bahasa administrasi di Myanmar selama penjajahan dan penguasaan tanah dan modal oleh ras Indo-Arya sebelum kerusuhan 1931.  

Di Myanmar junta militer gagal menghormati multikulturalisme di negara dengan keberagaman ras, etnis dan agama. Supremasi Buddha yang digunakan junta Militer sejak 1980-an untuk memenangkan dukungan politik dari mayoritas penduduk Myanmar telah mengorbankan hak-hak minoritas. Kondisi ini memicu semangat separatisme tidak hanya dikalangan Rohingya Muslim, tapi juga Chin, Karen dan Kachin yang Kristen. Ketiadaan demokrasi di Myanmar berakibat fatal pada kesetaraan kelompok-kelompok minoritas. Tidak ada jaminan hak-hak minoritas akan dihormati di negara supremasi yang otokratis, kondisi ini diperburuk dengan internalisasi chauvinisme yang melalui lembaga-lembaga pendidikan dan birokrasi Myanmar.

Di India kebencian rasial telah sejak lama menjadi komoditas partai politik. Antara BJP yang didukung Hindu fundamentalis dengan Partai Kongres yang didukung Hindu sekuler dan kelompok-kelompok  minoritas termasuk Muslim, Sikh dan Kristen. Dalam kasus Assam dan Nagaland BJP kembali memainkan isu Islamophobia untuk memenangkan dukungan dari suku-suku asli Assam dan Naga yang selama ini mendukung Partai Kongres. Islam sejak lama telah dijadikan kambing hitam dari semua permasalahan yang terjadi di Assam dan Nagaland, maupun di India secara umum. Berbeda dengan BJP, Partai Kongres tampak tegas dalam permasalahan ini. Sonia Gandhi pada akhir Juli lalu dalam kunjungannya ke kamp-kamp pengungsi Muslim Benggali menegaskan akan menindak anggota partai Kongres yang terlibat dalam penyerangan terhadap Muslim Benggali.

Negara dengan demokrasi seperti India yang dalam taraf tertentu telah menunjukkan penghormatan terhadap multikulturalisme masih terbuka pada kerusuhan rasial. Hal ini tak lain karena kesetaraan yang juga masih belum sepenuhnya diaplikasikan dalam kehidupan bernegara. Hingga tahun 2000-an Muslim Benggali, bersama Sikh dan ras Indo-Arya lainnya digunakan oleh pemerintah India untuk menjamin kesatuan India. Pemerintah India secara nyata mendorong imigrasi ras Indo-Arya ke Assam dan sekitarnya untuk mengimbangi kekuatan politik suku-suku asli. Imigrasi dan pertumbuhan penduduk Muslim Benggali yang besar kemudian dimanfaatkan juga oleh kelompok Hindu Fundamentalis untuk mengembangkan Islamophobia. Ketakutan akan sebuah dominasi Muslim atas Hindu dan suku-suku asli. Dominasi yang bisa terwujud melalui senjata demografi, dan yang dengannya sebuah emirat Islam bernama Mughalistan dapat didirikan meliputi Pakistan, Kashmir, Haryana, Punjab, Delhi, Oudh, Bihar, Benggal, Bangladesh dan Assam.

Permasalahan rasial di Myanmar dapat diatasi jika pemerintah dan masyarakat Myanmar menghormati multikulturalisme. Perlindungan hak-hak minoritas tidak hanya kepada Rohingya, tetapi juga kepada Chin, Karen, Kachin dan etnis minoritas lainnya. Demokrasi akan menjadi sarana untuk menjamin penghormatan terhadap hak-hak minoritas dan kesetaraan antar kelompok yang berbeda-beda di Myanmar.

Kebencian rasial di India dapat dilakukan dengan pemerataan pembangunan dan jaminan terhadap hak-hak budaya suku-suku asli. Pada saat yang bersamaan sekat-sekat antar komunitas harus dikikis melalui peningkatan peran masyarakat sipil yang multikulturalis. Sekat antar komunitas dan kebencian antar komunitas hanya akan menjadi pupuk bagi radikalisme. Peran pemerintah India penting untuk mendorong terciptanya keamanan di Assam dan Nagaland, serta menjamin hak-hak minoritas melalui daerah-daerah otonomi. Penegakan hukum juga mutlak diperlukan agar isu-isu yang belum jelas kebenarannya tidak menjadi pemicu kerusuhan rasial seperti yang saat ini terjadi.

Pelajaran untuk Indonesia
Kasus di kedua negara menunjukkan bahwa fundamentalisme agama dengan nasionalisme dimanapun telah menjadi perpaduan maut yang mendorong kebencian rasial beralih ke pembersihan rasial dengan justifikasi doktrin-doktrin sempit keagamaan dan semangat nasionalisme. Untuk itu sangat penting bagi pemerintah dan masyarakat sipil dimanapun berada untuk mendorong multikulturalisme, kesetaraan bagi semua etnis, ras, agama dan golongan. Demokrasi adalah instrumen penting untuk menjamin tidak ada abuse of power oleh pihak berkuasa atau kalangan mayoritas dengan mengorbankan hak-hak minoritas. Dengan demokrasi check and balance bisa dilakukan sehingga rezim otoriter dan hegemoni mayoritas atau sebaliknya hegemoni minoritas dapat dihindarkan.

Islam mempromosikan syura’ yang secara prinsipil mirip dengan demokrasi. Dalam syura’ kesetaraan ditekankan, tidak ada suara yang terabaikan dan tidak ada suara dominan. Pengambilan keputusan dilakukan dengan memperhatikan aspirasi semua pihak dan tanpa mengorbankan hak-hak sosial, budaya dan ekonomi siapapun. Namun dalam sebuah negara demokrasi juga perlu didukung oleh pranata sosial-politik yang menjunjung multikulturalisme. Negara demokrasi tanpa didukung partai politik yang memiliki integritas dan masyarakat sipil yang sadar politik dan menjunjung multikulturalisme hanya akan menumbuhkan demokrasi prosedural yang semu, dan bukan tidak mungkin menciptakan hegemoni mayoritas bukan kesetaraan. 

Dari kasus di Myanmar dan India di atas Indonesia dapat mengambil pelajaran berharga. Indonesia sebagaimana Myanmar dan India merupakan negara multikultural yang terdiri dari bermacam ras, suku, agama dan golongan. Demokrasi substansial dengan perlindungan hak-hak minoritas, kesetaran hak antar ras, suku dan agama, pembenahan institusi partai politik dan masyarakat sipil yang aktif dan berkembang bisa menjadi salah satu solusi untuk menghindarkan kerusuhan rasial. Pendidikan multikultural harus mulai diinternalisasi sejak dini, agar penghinaan dan pelecehan terhadap ekspresi budaya, agama dan penampilan fisik yang berbeda dapat diminimalisir.

Kasus penyerangan Klenteng di Makassar paska demonstrasi solidaritas Rohingya oleh FPI, penyerangan terhadap Ahmadiyah, represi terhadap ekspresi budaya masyarakat Papua dan isu kampanye SARA di Jakarta yang menyasar etnis  Tionghoa menjadi alarm berbahaya bagi pemerintah dan komponen masyarakat sipil. Kerusuhan rasial yang terjadi pada masa lalu bisa terulang lagi jika pemerintah dan masyarakat sipil tidak waspada.  Demokrasi Indonesia masih muda dan butuh untuk berkembang. Adalah tugas masyarakat sipil untuk berkontribusi aktif memperbaiki demokrasi kita dan bersama-sama menciptakan kesetaraan bagi seluruh warga negara. 

Kesetaraan hak tidak identik dengan perlakuan yang sama atas semua pihak. Penyeragaman justru hanya akan mengorbankan hak-hak minoritas. Kesetaran berarti kebebasan untuk menjadi berbeda. Kesetaraan adalah penghormatan kepada individu untuk menjadi berbeda sesuai dengan latar belakang budaya dan kebutuhan mereka. Isu rasial bisa diselesaikan dengan menghormati keberagaman atau multikulturalisme dan memberlakukan sesama secara setara.