Ibrah Ramadhan: Umat Muslim Sebagai Rahmatan
lil ‘alamin
Oleh: Rendy Dwi Novalianto S.I.P.
5 Agustus 2012 sebuah Gurdwara Sikh di Oak Creek, Wisconsin
ditembaki oleh seorang yang diduga terinspirasi doktrin supremasi kulit putih. Tujuh
orang yang sedang beribadah di dalam Gurdwara tersebut tewas. Beberapa hari kemudian pada 7 Agustus, anggota
parlemen dari partai Republik Joe Walsh mengeluarkan pernyataan berbau rasis
saat pertemuan di balaikota Elk Grove, Illionis. Ia menyatakan bahwa kaum
Muslim “mencoba membunuh warga Amerika tiap hari”. Menurutnya umat Muslim
merupakan ancaman nyata bagi Amerika, dan ancaman dari Muslim di dalam negeri Amerika
jauh lebih nyata dari sebelum serangan 9/11.
Selama awal agustus 2012 setidaknya terjadi 7 serangan
terhadap tempat ibadah kelompok minoritas yang berasal dari Timur Tengah dan
Asia Selatan di Amerika Serikat. Salah satunya sebuah Masjid di Joplin,
Missouri dibakar habis oleh orang tak dikenal pada 6 Agustus lalu. Serangan
tidak terbatas pada Masjid, Gereja The
Mother of Savior yang digunakan oleh kaum Kristen Arab di Deaborn, Michigan
dalam minggu ini dua kali kaca-kacanya dipecahkan.
Serangan-serangan terhadap minoritas yang terjadi di Amerika
Serikat menunjukkan bahwa di negara dengan demokrasi yang cukup matang dan
perlindungan hak-hak minoritas yang cukup baik dalam konstitusinya masih rentan
terhadap permasalahan rasisme. Perjuangan untuk kesetaran ras telah menempuh
perjalanan panjang dan berliku di Amerika Serikat, namun sebagian masyarakat
Amerika Serikat tampak masih belum bisa mengakomodasi perbedaan.
Islamophobia yang menjadi isu hangat selama masa kampanye
pemilu presiden tahun 2008 kembali menghangat pada kampanye pemilu presiden
tahun ini. Namun sayangnya kampanye Islamophobia ini tidak hanya berakibat pada
umat Muslim Amerika Serikat saja, tetapi juga menyasar pendatang dari Asia
Selatan dan Timur Tengah secara umum, baik Muslim, maupun non-Muslim.
Jika di Amerika Serikat kebencian rasial ditujukan kepada
pendatang dari Asia Selatan dan Timur Tengah, di Indonesia kebencian rasial
ditujukan kepada etnis Tionghoa, suku-suku Papua, selain itu diskriminasi juga
ditujukan kepada penganut Ahmadiyah dan penganut Kristen. Sebagai sebuah negara
berpenduduk mayoritas Muslim, Indonesia harusnya bisa melindungi hak-hak
minoritas, menjamin penghormatan terhadap keberbedaan yang hidup di dalam
kerangka keindonesiaan.
Umat Muslim Indonesia terikat pada ajaran-ajaran syariat
Islam yang memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap kelompok-kelompok
minoritas. Oleh karena itu Umat Muslim Indonesia harusnya bisa mengayomi
kelompok-kelompok minoritas, bukan berusaha menunjukkan supremasi dan hegemoni
atas kelompok-kelompok minoritas.
Insiden penyerangan Klenteng yang merupakan tempat ibadah
etnis Tionghoa di Makassar yang dilakukan FPI setelah demonstrasi solidaritas
Rohingya dan penyerangan terhadap masjid-masjid Ahmadiyah selama Ramadhan di
Kuningan menunjukkan bagaimana umat Muslim Indonesia belum bisa menjadi
mengayomi minoritas. Adalah sangat memalukan umat Muslim ketika penyerangan
oleh kelompok-kelompok umat Muslim tersebut dilakukan saat bulan suci Ramadhan.
Bulan ketika umat Muslim didorong untuk mempromosikan solidaritas sosial, bulan
ketika umat Muslim berlatih menjadi rahmatan
lil ‘alamin.
Kelompok-kelompok supremasi Muslim tersebut pada dasarnya
gugup dan tidak yakin pada pondasi keimanan mereka, sehingga mereka merasa
perlu menunjukkan semangat keimanan semu merek dengan menyerang
kelompok-kelompok lain yang berbeda dengan mereka. Syariat Islam tidak pernah
mengajarkan untuk mempromosikan kekerasan terhadap minoritas. Bukankah Muhammad
Shalallahu ‘alaihi wa salam mengajarkan kepada kita bahwa siapa pun dari
kalangan Muslim yang membunuh kafir dzimmi, kafir yang dilindungi maka ia tak
akan mencium bau surga?
Bulan Ramadhan yang seharusnya menjadi bulan saat kita
menahan emosi kita justru tampaknya tidak bisa mengekang amarah sejumlah
kelompok yang mengatas namakan Islam. Bukankah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam
juga pernah bersabda hingga tiga kali, “jangan marah”? tapi mengapa umat Muslim
sekarang tampak gampang sekali disulut kemarahannya?
Hal penting yang perlu ditekankan adalah menunjukkan
solidaritas berbeda dengan melampiaskan amarah. Solidaritas kita terhadap umat
Muslim Rohingya tidak mewajibkan kita untuk menyerang tempat-tempat ibadah umat
Buddha, pun demikian solidaritas kita terhadap Sunni Syria tidak mewajibkan
kita menyerang Syiah Indonesia, juga solidaritas terhadap Palestina tidak
paralel dengan sikap diskriminatif terhadap Yahudi Indonesia. Solidaritas bisa
ditunjukkan dengan mendoakan, menggalang bantuan kemanusiaan dan kampanye
kesadaran terhadap penderitaan umat Muslim, sambil tetap menjaga dan melindungi
minoritas yang hidup di Indonesia.
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam teladan kita semua
pernah bersabda, “Barangsiapa yang tidak mengasihi yang ada di bumi, maka ia
tak akan dikasihi yang ada di langit”. Dalam hadits mulia ini, Muhammad
Shalallahu ‘alaihi wa salam memparalelkan kasih kita terhadap sesama, baik
Muslim maupun non-Muslim, terhadap hewan, tumbuhan dan lingkungan hidup dengan
kasih Allah ‘Azza wa Jalla.
Ajaran kasih Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam ini
harusnya menjadi inspirasi bagi kita umat Muslim, untuk menjadi
sebenar-benarnya Rahmatan lil ‘alamin,
rahmat bagi sekalian alam. Rahmat berarti anugrah kasih, penebar manfaat,
pelindung dan penjaga seluruh alam. Rahmatan
lil ‘alamin tidak membeda-bedakan kasihnya, apakah hanya kepada sesama
saja. Bahkan rahmatan lil ‘alamin mewajibkan
umat Muslim untuk menebarkan kasih bagi mereka yang berbeda dengannya.
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam juga pernah bersabda
kepada sahabat-sahabatnya bahwa mereka tak akan beriman hingga mereka saling
mengasihi, saling menjadi rahmat satu dengan lainnya. Para sahabat kaget dan
bertanya bukankah mereka sudah saling kasih-mengasihi sesama mereka?. Muhammad
Shalallahu ‘alaihi wa salam menjawab bahwa maksudnya bukan itu, ia bersabda tak
akan beriman salah seorang dari kalian hingga ia bisa mengasihi, bisa menjadi rahmat tidak saja
kepada mereka yang sama, sepaham, sesuku, satu ras, satu golongan dengannya,
tapi juga bisa mengasihi, menjadi rahmat dan pelindung mereka yang berbeda
dengannya.
Selama Ramadhan yang baru saja berlalu kita telah ditempa
untuk menjadi Muslim sejati. Muslim yang memiliki solidaritas sosial dan kasih
kepada sesama dan kepada yang berbeda. Selama Ramadhan kita diajarkan untuk
menahan amarah, mengendalikan emosi kita. Singkat kata selama Ramadhan kita
dilatih untuk menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Seharusnya selama Ramadhan kita juga bisa mengendalikan
lisan kita dari menghujat mereka yang berbeda dengan kita. Bukankah dakwah bisa
dilakukan dengan hikmah? Ataukah dalam benak kita sudah tertanam bahwa dakwah
harus dengan cara menghujat mereka yang berbeda dengan kita?. Esensi ajaran Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin juga mewajibkan
umat Muslim sebagai mayoritas untuk menjadi pengayom, menjadi pelindung
sekaligus panutan bagi kelompok-kelompok minoritas. Namun sangat disayangkan
selama Ramadhan kemarin kita disuguhkan berbagai ceramah yang memojokkan
sejumlah pihak, mulai menghina dan menghujat Wahabi hingga ceramah-ceramah
rasis yang ditujukan kepada etnis Tionghoa, yang celakanya dilakukan di
masjid-masjid yang harusnya menjadi corong rahmat, bukan corong fitnah.
Dengan berlalunya ramadhan kali ini, semoga kita umat Muslim
bisa mengambil pelajaran berharga untuk pendewasaan kita agar dapat menjadi
sebenar-benar rahmatan lil ‘alamin. Menjadi Muslim yang menghormati hak-hak minoritas,
menjadi rahmat bagi mereka yang berbeda dengan kita, dan menjadi pengayom serta
contoh di dalam kehidupan bernegara, sehingga Indonesia dapat menjadi baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur. Negara
yang sejahtera, aman, makmur, yang dirahmati Tuhan yang maha pengampun.
Sholat Ied pagi nanti akan menunjukkan bagaimana secara
kuantitas umat Muslim sudah superior, namun yang belum bisa ditunjukkan oleh umat
Muslim Indonesia adalah superioritas umat Muslim dalam kebaikan, dalam
perlindungan hak-hak sipil, perlindungan minoritas, superioritas dalam
solidaritas kemanusiaan dan perjuangan untuk kesetaraan demi Indonesia yang lebih
baik.
Seiring dengan syahdunya gema takbir yang membahana malam
ini, mari kita sekali lagi renungkan pesan-pesan kasih dan egaliterianisme
ajaran Islam. Apakah kita mau menjadi seperti kelompok supremasi kulit putih di
Amerika Serikat yang menunjukkan superioritasnya dengan meneror kelompok yang
berpenampilan, berbudaya dan berkeyakinan berbeda dengan mereka, atau dengan
menjadi rahmat bagi mereka yang berbeda, sebagai manifestasi sebenar-benarnya rahmatan lil ‘alamin.
Akhir kata, Taqabalallahu
minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum, qiyamana wa qiyamakum. Semoga Allah
yang Maha Kasih menerima amal ibadah kita semua, puasa kita semua dan sholat
malam kita semua selama bulan penuh rahmat ramadhan yang baru saja berlalu.
Selamat ‘Idul Fitri 1433 H, semoga paska Ramadhan kita bisa menjadi
sebenar-benarnya rahmatan lil ‘alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar