Kebencian Rasial di Myanmar dan India: Pelajaran untuk Multikuturalisme Indonesia.
Oleh: Rendy Dwi Novalianto, S.I.P.
Ramadhan tahun ini umat Muslim
dikejutkan oleh kabar pembersihan etnis yang dilakukan oleh etnis Rakhine yang
beragama Buddha dan pemerintah Myanmar kepada etnis Rohingya yang beragama
Islam di negara bagian Rakhine (dulu bernama Arakan). Pembersihan etnis yang
telah menewaskan 650 orang, 1.200 orang hilang dan lebih dari 90.000 orang
mengungsi ini berawal dari insiden pemerkosaan seorang wanita etnis Rakhine
yang diduga dilakukan oleh empat pemuda etnis Rohingya. Walaupun tidak ada
proses pengadilan dan pembuktian terhadap kasus ini, namun isu yang beredar
sudah cukup untuk memicu kerusuhan antar dua komunitas yang sejak lama sudah
memendam kebencian.
Apa yang pada awalnya adalah
kerusuhan antar etnis kemudian berubah menjadi pembersihan etnis secara
sistematis setelah polisi dan tentara Myanmar ikut campur. Campur tangan
militer Myanmar bukan untuk meredam konflik yang terjadi, tapi justru menambah
parah situasi dengan berpihak pada salah satu pihak yang terlibat. Etnis
Rohingya yang tidak diakui oleh pemerintah Myanmar sebagai warga negara Myanmar
pun menjadi sasaran pembersihan etnis. Slogan bahwa Rohingya adalah imigran
dari Bangladesh terus dipropagandakan oleh pemerintah, media dan bahkan para
aktivis demokrasi di Myanmar. Bahkan Presiden Myanmar Thein Sein menyatakan
bahwa solusi untuk permasalahan Rohingya adalah dengan mendeportasi mereka dan
menempatkannya ke negara ketiga yang bersedia menampung mereka.
Paralel dengan yang terjadi di
Myanmar, pembersihan etnis yang menyasar umat Muslim juga terjadi di negara
bagian Assam, India. Sejak bulan Juli lalu setidaknya 80 orang tewas dan sekitar
400.000 jiwa mengungsi ke 125 barak pengungsian di penjuru Assam dan Bengal.
Kerusuhan antara komunitas Muslim yang mayoritas berasal dari etnis Benggali
dan suku Bodo ini berawal dari pembunuhan empat pemuda Bodo oleh pelaku tidak
dikenal, yang kemudian oleh suku Bodo dituduhkan kepada komunitas Muslim.
Sekali lagi isu yang belum jelas
kebenarannya cukup menjadi pemantik kerusuhan antar dua komunitas yang memendam
curiga dan benci sejak lama. Di Assam komunitas Muslim merupakan minoritas
terbesar dengan persentase mencapai 35 persen dari 30 juta penduduk Assam.
Mayoritas Muslim berasal dari etnis Benggali.
Arakan: Sejarah
kebencian antar dua komunitas.
Kebencian yang terpendam terhadap
komunitas Muslim di tiga kawasan yang berdekatan ini berasal dari isu yang
hampir sama. Di Myanmar etnis Rohingya dianggap sebagai pendatang dari
Chittagong. Keberadaannya di Arakan dianggap mengancam dominasi etnis Rakhine
dan eksistensi agama Buddha. Walaupun Rohingya merupakan penduduk asli Arakan
dan lebih dulu menetap di Arakan daripada etnis Rakhine. Bukti sejarah yang ada
menunjukkan bahwa Rohingya sudah menetap di Arakan sejak abad ke 8. Bahkan pada
788 masehi Rohingya yang masih beragama Hindu dan Buddha Mahayana telah
mendirikan kerajaan Chandra yang beribukota di Wesali. Wilayah kekuasaannya
meliputi Arakan di Myanmar hingga Chittagong di Bangladesh. Baru pada abad ke
10 etnis Rakhine yang berasal dari dataran tinggi Tibet dan beragama Buddha
Theravada mulai menetap di Arakan. Rohingya dan Rakhine berbeda sejak dahulu.
Rohingya merupakan Indo-Arya dan dulu beragama Hindu dan Buddha Mahayana
kemudian sejak abad ke ke 10 berangsur-angsur menjadi Muslim. Sedangkan Rakhine
yang berkulit lebih putih merupakan Sino-Tibetan dan beragama Buddha Theravada.
Jika Rohingya sejak lama berafiliasi
ke Benggala, Rakhine sejak lama berafiliasi ke Pagan (Burma). Ketika Benggala
secara resmi menjadi negara Islam pada 1203, Rohingya secara pelan tapi pasti
juga berpindah keyakinan menjadi Muslim. Puncaknya pada 1430 ketika raja
Rohingya Min Saw Mun dari kerajaan Mrauk U yang kembali dari pengasingan di
Benggala mengadopsi nama Islam Sulaiman Shah. Dengan bantuan Wali Khan dan
dukungan dari Sultan Benggala Jalaludin Muhammad Shah Sulaiman Shah berhasil
merebut kembali kerajaannya yang sempat diduduki Pagan. Sejak 1430 hingga 1784
Arakan dikuasai kerajaan Mrauk U yang beretnis Rohingya dan beragama Buddha
Mahayana dan Islam. Walaupun masih beragama Buddha para penguasa Mrauk U
menggunakan nama-nama dan simbol-simbol Islam. Bahkan Lashkar Wazir (Menteri Pertahanan) secara rutin dipegang Muslim,
seperti Ashraf Khan. Kerajaan Mrauk U juga menerapkan hukum yang berasal dari
ajaran Islam dan mengangkat Muslim sebagai Qazi,
seperti Daulat Qazi dan Abdul Karim Qazi untuk menjaga ketertiban umum. Sultan
Sulaiman Shah juga menerapkan bahasa Parsi sebagai bahasa administrasi kerajaan
dan mengeluarkan koin dengan cetakan kalimat La ilaha ilallah.
Pada 1784 Mrauk U dikuasai oleh
Pagan dibawah kepemimpinan Raja Bodawpaya. Invasi ini melengkapi gelombang
kedatangan etnis Sino-Tibetan yang beragama Buddha Theravada sejak abad ke 10. Paska
invasi ini banyak etnis Indo-Aryan dan suku-suku asli yang beragama Hindu,
Buddha Mahayana dan Islam berpindah ke Chittagong, bahkan Cox’s Bazar dibangun
khusus untuk pemukiman pengungsi Rohingya dan Kamans yang saat itu banyak yang
beragama Buddha Mahayana. Sementara suku-suku lainnya seperti Chin, Mro dan
Khami memilih berpindah ke pegunungan yang jauh dari jangkauan Rakhine dan
Pagan. Paska invasi Pagan ke Arakan konversi Rohingya dan Kamans ke Islam
terjadi secara masal. Cox’s Bazar yang dulu didiami oleh penganut Buddha
Mahayana kini hampir seluruhya Muslim.
Oleh etnis Rakhine dan Burma
secara umum etnis Rohingya dianggap bertanggung jawab atas pendudukan Inggris
atas Burma. Adalah 20.000 lebih etnis Rohingya dan keterunan raja Mrauk U yang
sejak 1784 mendirikan basis perlawanan atas Pagan di Cox’s Bazar dan secara
rutin menyerang Arakan. Atas sebab inilah kemudian Inggris ikut campur dan
membantu etnis Rohingya merebut Arakan kembali, tapi tidak untuk sepenuhnya
merdeka, tapi dibawah kekuasaan Inggris.
Kebencian rasial tidak hanya
terbatas terjadi di Arakan, di kawasan lainnya di Myanmar sikap rasis
pemerintah Myanmar dan mayoritas etnis Burma ditunjukkan pada diskriminasi
kepada etnis Chin, Mro, Khami, Karen dan Kachins yang saat ini mayoritas
beragama Kristen. Selain itu sikap rasis etnis Burma telah mengakibatkan
beberapa kali kerusuhan rasial yang menarget warga Indo-Arya baik yang beragama
Muslim dan Hindu pada 1930 dan 1938. Akibatnya paska perang dunia kedua lebih
dari 500.000 etnis Indo-Arya mengungsi ke India dan Pakistan Timur (Saat ini
Bangladesh).
Assam dan Nagaland:
Penduduk asli vs pendatang
Sementara itu di Assam komunitas
Muslim Benggali yang bermigrasi ke Assam sejak abad ke 18 dianggap dapat
mengancam eksistensi Suku Bodo, salah satu suku asli Assam yang beragama Hindu.
Suku-suku asli Assam sejak lama sudah memusuhi etnis Muslim Benggali yang
menguasai sektor perekonomian di Assam. Sejak abad ke 19 Muslim Benggali secara
teroganisir didatangkan oleh Inggris untuk meningkatkan produksi pertanian di
sepanjang dataran rendah Assam, sejak itu Muslim Benggali menguasai sektor
perekonomian terutama pertanian dan perdagangan di Assam.
Assam dan Nagaland yang merupakan
bagian dari India berada di kawasan yang dikelilingi oleh China, Bhutan,
Bangladesh, dan Myanmar. Kawasan ini dihuni oleh sekitar 200 suku, yang mayoritas
secara rasial lebih mirip dengan penduduk China dan Myanmar. Sejak kemerdekaan
India kawaan ini selalu diguncang isu separatisme. Assam merupakan negara
bagian terbesar dan paling kompleks di kawasan ini.
Di Assam penduduk asli seperti
Suku Bodo dan Lalung sejak lama memusuhi Muslim Benggali. Ada dua sebab yang
mendasari kebencian suku-suku asli Assam terhadap Muslim Benggali. Pertama adalah
karena mereka pendatang dan secara fisik mereka berbeda dari suku-suku asli
Assam. Muslim Benggali mulai menetap di Assam bersamaan dengan invasi Mughal
pada abad 17 awal. Namun Muslim Benggali mulai menetap secara masal pada masa
penjajahan Inggris. Pada akhir abad 18 dan awal abad 19 Muslim Benggali
didatangkan secara terorganisir untuk mengelola kawasan lembah Assam. Hal ini
dilakukan untuk meningkatkan hasil pertanian di Assam. Akibatnya pertanian di
Assam berkembang pesat dan secara perlahan Muslim Benggali mulai menguasai
sektor-sektor perekonomian di Assam. Sebab kedua adalah ketakutan suku-suku
asli akan dominasi Muslim Benggali. Suku-suku asli Assam sejak masa Mughal
sudah berperang untuk independensinya. Sejak kemerdekaan India perjuangan
suku-suku asli ini tidak berhenti, bahkan semakin terorganisir. Akibatnya Assam
pada tahun 1960an dipecah menjadi negara-negara bagian kecil untuk memuaskan
tuntutan suku-suku asli. Nagaland,
Meghalaya dan Mizoram dibentuk berdasarkan garis kesukuan.
Persoalan tidak selesai dengan
pembentukan negara-negara bagian tersebut. Pada tahun 1980-an suku-suku asli
memulai Agitasi Assam sebagai reaksi atas meningkatnya jumlah Muslim Benggali.
Peningkatan jumlah Muslim Benggali ini dianggap dapat mengancam dominasi
suku-suku asli dan berdampak pada perjuangan mereka untuk menuntut otonomi dari
pemerintah India. Selama 6 tahun Agitasi Assam setidaknya 2.500 Muslim Benggali
tewas. Insiden paling berdarah terjadi ketika pada Februari 1983 Suku Lalung
melancarkan pembersihan etnis di Nellie. Sekitar 1.600 Muslim Benggali tewas
dalam insiden yang terjadi selama dua hari tersebut.
Selain itu suku-suku asli bekerja
sama dengan kelompok Nasionalis Hindu menggulirkan isu Mughalistan, yaitu usaha
untuk mengubah demografi India Utara menjadi Mayoritas Muslim, sehingga akan
memudahkan penyatuan Pakistan dan Bangladesh. Ketakutan akan dominasi Muslim
menajam di Assam setelah Assam United
Democratic Front (AUDF) sebuah partai yang didominasi Muslim dan
kelompok-kelompok Muslim fundamentalis menuntut sebuah wilayah administrasi
khusus di enam distrik yang didominasi Muslim di Assam Barat. Tuntutan ini
mendapatkan reaksi keras dari Suku Bodo karena kawasan yang dituntut AUDF
beririsan dengan Bodoland Tribal
Autonomous Council yang dibentuk delapan tahun lalu untuk meredam tuntutan
separatisme Suku Bodo.
Selain dominasi ekonomi, Muslim
Benggali secara perlahan juga mulai mendominasi politik dan penguasaan tanah di
Assam. AUDF saat ini menguasai 16 kursi dari 126 kursi parlemen Assam,
sementara partai-partai Hindu nasionalis dan suku-suku asli Assam hanya meraih
kurang dari 10 kursi parlemen Assam.
Nagaland yang merupakan pecahan
Assam yang didominasi suku Naga juga memiliki masalah dengan Muslim Benggali. Sama
dengan yang terjadi di Assam, Muslim Benggali yang jumlahnya bertambah pesat
dianggap bisa merubah demografi Nagaland dan dapat berujung pada hilangnya
hegemoni Suku Naga atas Nagaland. Selain itu penguasaan ekonomi dan secara perlahan
penguasaan politik oleh Miyas (Muslim Benggali) semakin membuat kecurigaan
antar komunitas terus tumbuh. Bersamaan dengan kerusuhan rasial di Assam, The Naga Council menyatakan akan
menarget Miyas dalam usaha melindungi hegemoni Suku Naga. The Naga Council menyatakan akan mulai mengidentifikasi Muslim
Banggali sebagai langkah awal untuk usaha pembersihan etnis secara sistematis
dengan cara mendeportasi Muslim Benggali dari Nagaland.
Akar masalah yang
sama
Di tiga wilayah tersebut dapat
dilihat kesamaan akar masalah yang berujung pada kerusuhan rasial. Xenophobia atau
rasa takut dan curiga berlebihan kepada kelompok masyarakat yang berbeda baik
secara fisik, budaya, bahasa dan keyakinan. Xenophobia di Myanmar selain
melanda masyarakat awam juga tampak dipropagandakan oleh pemerintah demi
tujuan-tujuan politik tertentu. Dilihat dari sisi politik praktis junta militer
Myanmar memiliki kepentingan untuk terus mempromosikan kebencian rasial antara
Rohingya dengan Rakhine. Di Arakan secara umum junta militer selalu dibenci
baik oleh Rohingya maupun Rakhine. Gerakan pro demokrasi yang melanda Myanmar
beberapa tahun lalu juga dipelopori oleh Rakhine di Arakan. Untuk memenangkan
dukungan politis Rakhine dan etnis Burma junta militer perlu untuk berpihak dan
mengeksploitasi isu rasial ini.
Latar belakang ini juga yang
kemudian membuat Aung Sang Su Kyi dan sejumlah aktivis pro demokrasi Myanmar
tampak gagap ketika dihadapkan pada isu Rohingya. Dukungan kepada oposisi
sangat kuat di kalangan Rakhine, jika Aung Sang Su Kyi mengambil langkah yang
dianggap berlawan dengan aspirasi etnis Rakhine, bukan tidak mungkin pihak
oposisi dapat kehilangan dukungan utama mereka dari kalangan etnis Rakhine.
Xenophobia yang ditujukan oleh
masyarakat dan pemerintah Myanmar dalam kasus Rohingya ini menunjukkan bahwa
Myanmar belum siap untuk berinteraksi dan menjadi bagian dari masyarakat
global. Kampanye Islamophobia yang kemudian juga digencarkan sebagai usaha
memotret Rohingya sebagai teroris-jihadis oleh segelintir pihak di Myanmar
semakin menunjukkan rasisme masih menjajah pikiran sebagian masyarakat Myanmar.
Hal yang serupa terjadi di Assam
dan Nagaland. Ketakutan terhadap dominasi budaya yang berbeda menjadi dasar
utama kampanye anti Muslim Benggali. Xenophobia yang berkembang akibat isolasi
dan doktrin supremasi diri ini tampaknya merupakan hal yang lumrah di kalangan
penduduk Assam, Tibet dan Myanmar. Insiden rasial yang diakibatkan xenophobia
telah berkali-kali terjadi di kawasan ini. Pada awal abad ke 20 pernah terjadi
pengusiran etnis India dari Tibet, pada 1990-an Bhutan mendeportasi puluhan
ribu warga negaranya yang berasal dari etnis Nepal, Myanmar mendeportasi
500.000 keturunan India segera setelah kemerdekaanya, sementara pada tahun
1970-an kerusuhan anti Tionghoa menyebabkan ratusan etnis Tionghoa tewas dan
puluhan ribunya meninggalkan Myanmar.
Insiden di Myanmar dan India juga
sama-sama didasarkan pada keppentingan ekonomi. Jika di Assam dan Nagaland
Muslim Benggali secara bertahan tapi pasti mulai mendominasi penguasaan tanah,
perekonomian dan politik, di Myanmar berbagai kemudahan yang diberikan Inggris
kepada ras Indo-Arya selama penjajahannya telah memupuk kecemburuan sosial.
Ditambah lagi fakta penggunaan bahasa Hindi sebagai bahasa administrasi di
Myanmar selama penjajahan dan penguasaan tanah dan modal oleh ras Indo-Arya
sebelum kerusuhan 1931.
Di Myanmar junta militer gagal
menghormati multikulturalisme di negara dengan keberagaman ras, etnis dan
agama. Supremasi Buddha yang digunakan junta Militer sejak 1980-an untuk
memenangkan dukungan politik dari mayoritas penduduk Myanmar telah mengorbankan
hak-hak minoritas. Kondisi ini memicu semangat separatisme tidak hanya
dikalangan Rohingya Muslim, tapi juga Chin, Karen dan Kachin yang Kristen.
Ketiadaan demokrasi di Myanmar berakibat fatal pada kesetaraan
kelompok-kelompok minoritas. Tidak ada jaminan hak-hak minoritas akan dihormati
di negara supremasi yang otokratis, kondisi ini diperburuk dengan internalisasi
chauvinisme yang melalui lembaga-lembaga pendidikan dan birokrasi Myanmar.
Di India kebencian rasial telah
sejak lama menjadi komoditas partai politik. Antara BJP yang didukung Hindu
fundamentalis dengan Partai Kongres yang didukung Hindu sekuler dan kelompok-kelompok minoritas termasuk Muslim, Sikh dan Kristen. Dalam
kasus Assam dan Nagaland BJP kembali memainkan isu Islamophobia untuk
memenangkan dukungan dari suku-suku asli Assam dan Naga yang selama ini
mendukung Partai Kongres. Islam sejak lama telah dijadikan kambing hitam dari
semua permasalahan yang terjadi di Assam dan Nagaland, maupun di India secara
umum. Berbeda dengan BJP, Partai Kongres tampak tegas dalam permasalahan ini.
Sonia Gandhi pada akhir Juli lalu dalam kunjungannya ke kamp-kamp pengungsi
Muslim Benggali menegaskan akan menindak anggota partai Kongres yang terlibat
dalam penyerangan terhadap Muslim Benggali.
Negara dengan demokrasi seperti
India yang dalam taraf tertentu telah menunjukkan penghormatan terhadap
multikulturalisme masih terbuka pada kerusuhan rasial. Hal ini tak lain karena
kesetaraan yang juga masih belum sepenuhnya diaplikasikan dalam kehidupan
bernegara. Hingga tahun 2000-an Muslim Benggali, bersama Sikh dan ras Indo-Arya
lainnya digunakan oleh pemerintah India untuk menjamin kesatuan India. Pemerintah
India secara nyata mendorong imigrasi ras Indo-Arya ke Assam dan sekitarnya
untuk mengimbangi kekuatan politik suku-suku asli. Imigrasi dan pertumbuhan
penduduk Muslim Benggali yang besar kemudian dimanfaatkan juga oleh kelompok
Hindu Fundamentalis untuk mengembangkan Islamophobia. Ketakutan akan sebuah
dominasi Muslim atas Hindu dan suku-suku asli. Dominasi yang bisa terwujud
melalui senjata demografi, dan yang dengannya sebuah emirat Islam bernama
Mughalistan dapat didirikan meliputi Pakistan, Kashmir, Haryana, Punjab, Delhi,
Oudh, Bihar, Benggal, Bangladesh dan Assam.
Permasalahan rasial di Myanmar
dapat diatasi jika pemerintah dan masyarakat Myanmar menghormati
multikulturalisme. Perlindungan hak-hak minoritas tidak hanya kepada Rohingya,
tetapi juga kepada Chin, Karen, Kachin dan etnis minoritas lainnya. Demokrasi
akan menjadi sarana untuk menjamin penghormatan terhadap hak-hak minoritas dan
kesetaraan antar kelompok yang berbeda-beda di Myanmar.
Kebencian rasial di
India dapat
dilakukan dengan pemerataan pembangunan dan jaminan terhadap hak-hak
budaya
suku-suku asli. Pada saat yang bersamaan sekat-sekat antar komunitas
harus
dikikis melalui peningkatan peran masyarakat sipil yang multikulturalis.
Sekat antar
komunitas dan kebencian antar komunitas hanya akan menjadi pupuk bagi
radikalisme. Peran pemerintah India penting untuk mendorong terciptanya
keamanan di Assam dan Nagaland, serta menjamin hak-hak minoritas melalui
daerah-daerah otonomi. Penegakan hukum juga mutlak diperlukan agar
isu-isu yang belum jelas kebenarannya tidak menjadi pemicu kerusuhan
rasial seperti yang saat ini terjadi.
Pelajaran untuk
Indonesia
Kasus di kedua negara menunjukkan
bahwa fundamentalisme agama dengan nasionalisme dimanapun telah menjadi
perpaduan maut yang mendorong kebencian rasial beralih ke pembersihan rasial
dengan justifikasi doktrin-doktrin sempit keagamaan dan semangat nasionalisme. Untuk
itu sangat penting bagi pemerintah dan masyarakat sipil dimanapun berada untuk
mendorong multikulturalisme, kesetaraan bagi semua etnis, ras, agama dan
golongan. Demokrasi adalah instrumen penting untuk menjamin tidak ada abuse of power oleh pihak berkuasa atau
kalangan mayoritas dengan mengorbankan hak-hak minoritas. Dengan demokrasi check and balance bisa dilakukan
sehingga rezim otoriter dan hegemoni mayoritas atau sebaliknya hegemoni
minoritas dapat dihindarkan.
Islam mempromosikan syura’ yang
secara prinsipil mirip dengan demokrasi. Dalam syura’ kesetaraan ditekankan,
tidak ada suara yang terabaikan dan tidak ada suara dominan. Pengambilan keputusan
dilakukan dengan memperhatikan aspirasi semua pihak dan tanpa mengorbankan
hak-hak sosial, budaya dan ekonomi siapapun. Namun dalam sebuah negara
demokrasi juga perlu didukung oleh pranata sosial-politik yang menjunjung
multikulturalisme. Negara demokrasi tanpa didukung partai politik yang memiliki
integritas dan masyarakat sipil yang sadar politik dan menjunjung
multikulturalisme hanya akan menumbuhkan demokrasi prosedural yang semu, dan
bukan tidak mungkin menciptakan hegemoni mayoritas bukan kesetaraan.
Dari kasus di Myanmar dan India
di atas Indonesia dapat mengambil pelajaran berharga. Indonesia sebagaimana Myanmar
dan India merupakan negara multikultural yang terdiri dari bermacam ras, suku,
agama dan golongan. Demokrasi substansial dengan perlindungan hak-hak
minoritas, kesetaran hak antar ras, suku dan agama, pembenahan institusi partai
politik dan masyarakat sipil yang aktif dan berkembang bisa menjadi salah satu
solusi untuk menghindarkan kerusuhan rasial. Pendidikan multikultural harus
mulai diinternalisasi sejak dini, agar penghinaan dan pelecehan terhadap
ekspresi budaya, agama dan penampilan fisik yang berbeda dapat diminimalisir.
Kasus penyerangan Klenteng di
Makassar paska demonstrasi solidaritas Rohingya oleh FPI, penyerangan terhadap
Ahmadiyah, represi terhadap ekspresi budaya masyarakat Papua dan isu kampanye
SARA di Jakarta yang menyasar etnis
Tionghoa menjadi alarm berbahaya bagi pemerintah dan komponen masyarakat
sipil. Kerusuhan rasial yang terjadi pada masa lalu bisa terulang lagi jika
pemerintah dan masyarakat sipil tidak waspada. Demokrasi Indonesia masih muda dan butuh untuk
berkembang. Adalah tugas masyarakat sipil untuk berkontribusi aktif memperbaiki
demokrasi kita dan bersama-sama menciptakan kesetaraan bagi seluruh warga
negara.
Kesetaraan hak tidak identik
dengan perlakuan yang sama atas semua pihak. Penyeragaman justru hanya akan
mengorbankan hak-hak minoritas. Kesetaran berarti kebebasan untuk menjadi
berbeda. Kesetaraan adalah penghormatan kepada individu untuk menjadi berbeda
sesuai dengan latar belakang budaya dan kebutuhan mereka. Isu rasial bisa
diselesaikan dengan menghormati keberagaman atau multikulturalisme dan
memberlakukan sesama secara setara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar