Selasa, 17 Maret 2009

Dongeng Itu Bernama Indonesia

Apakah benar Indonesia telah menjadi sebuah bangsa yang besar atau malah Indonesia justru gagal menjadi sebuah bangsa? Pertanyaan yang cukup menggelitik untuk dijawab. Beberapa waktu yang lalu Prof Susetyawan, mengungkapkan bahwa Indonesia telah gagal menjadi sebuah bangsa, atau dengan kata lain ada dua tujuan dari sumpah pemuda 1928 yang sampai saat ini belum dapat diwujudkan, yaitu menjadikan penduduk Indonesia merasa sebagai bangsa yang satu dengan tanah tumpah darah yang satu.

Satu tujuan dalam sumpah pemuda 1928 telah berhasil kita wujudkan, yaitu berbahasa satu, bahasa Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari peraturan yang seakan-akan memaksakan pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, maka jadilah bahasa Indonesia sebagai pemersatu penduduk Indonesia (walaupun masih banyak juga penduduk Indonesia yang tidak bisa atau sulit berbahasa Indonesia). Tapi persatuan kita tampaknya masih terbatas pada penggunaan satu bahasa yang sama, namun perasaan sebagai suatu bangsa yang satu dengan tumpah darah yang satu nampak belum terlalu kuat mengikat penduduk Indonesia.

Salah satu falsafah dasar pendirian negara kita adalah Bhineka Tunggal Ika, suatu falsafah yang konon katanya juga dipakai oleh sebuah kerajaan kuno di Nusantara yang bernama Majapahit. Dihikayatkan bahwa falsafah tersebut berhasil mengikatkan berpuluh-puluh suku yang hidup di bawah bendera kerajaan Majapahit yang terbentang luas, melebihi batas-batas NKRI saat ini. Oleh karena itulah, maka para founding fathers republic ini kemudian menggunakan falsafah yang sama untuk mengikat seluruh suku yang hidup di wilayah bekas teritori Nederlandsche Indie.

Bhineka Tunggal Ika, yang maknanya berkisar pada bahwa walaupun memiliki perbedaan yang banyak, hendaklah persatuan tetap dijunjung, mengharuskan sikap menghormati dan menghargai perbedaan yang ada dengan tetap mengutamakan kesatuan negara. Falsafah ini mencoba mengakomodasi primodialisme local dalam bingkai sebuah negara kesatuan. Sejarah mencatat bahwa ketika Indonesia menjadi sebuah negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dan berdaulat pada 19 Desember 1949, prinsip kebhinekaan itu tampaknya sering dilanggar sendiri oleh rezim yang berkuasa dengan mengatas namakan negara.

Prinsip kebhinekaan yang telah mendorong Teuku Daud Berueh untuk menyatakan bahwa Aceh menjadi bagian NKRI dengan syarat Aceh diperbolehkan untuk menegakkan syariat Islam di wilayahnya, prinsip kebhinekaan yang juga telah mendorong raja-raja Jawa menyatakan dukungan kepada negara yang baru lahir tersebut. Prinsip kebhinekaan ini pula yang mendorong penduduk etnis Tionghoa untuk ikut berjuang bersama bangsa pribumi demi menegakkan kedaulatan NKRI, dan pada akhirnya prinsip kebhinekaan ini pula yang mendorong Sultan Tidore bersama penduduk Papua Barat memilih bergabung dengan NKRI.

Namun kita bisa membaca dari buku-buku sejarah, bagaimana Ir Soekarno yang juga salah satu founding fathers NKRI kemudian mengkhianati janjinya kepada Teuku Daud Berueh dan rakyat Aceh, dengan menurunkan status Aceh dan menggabungkannya dengan propinsi Sumatera Utara. Pengabaian prinsip kebhinekaan ini pula yang mendorong Muhammad Natsir serta banyak perwira TNI di daerah melawan hegemoni kekuasaan Jakarta yang semakin otoriter.

Ketika akhirnya rezim berganti, harapan akan adanya penghormatan terhadap perbedaan yang ada kembali harus pupus. Tahun 1970-an struktur pemerintahan daerah diseragamkan oleh Soeharto. Berbagai system pemerintahan dan local wisdom yang selama berabad-abad mampu merwujudkan Soziale Ordnung (keteraturan sosial) dalam waktu relative singkat diganti dengan system pemerintahan Jawa. Gampong, Nagari, Marga dan semacamnya digantikan dengan desa. UU Simbur Cahaya yang sangat dijunjung oleh masyarakat Melayu karena merupakan manifestasi hukum Islam dan adat Melayu dihapus dan diganti oleh KUHP buatan penjajah.

Hasilnya adalah seperti yang dikatakan oleh Peter Waldman, terjadi moral ganda di tengah-tengah masyarakat, karena pergantian system moral yang berlangsung sangat cepat. Pada akhirnya hal ini menyebabkan muncul fenomena anomi sosial yang ditandai dengan tingginya tingkat pelanggaran hukum oleh masyarakat. Pergantian dari satu soziale ordnung ke soziale ordnung yang lain telah membuahkan kebingungan ditengah masyarakat yang hidup di dalam negara yang berfalsafah bhineka tunggal ika.

Sepanjang masa rezim Soeharto kita melihat berbagai bentuk usaha penyeragaman secara paksa oleh pemerintah pusat dengan dalih pembangunan. Falsafah bhineka tunggal ika dan dasar negara Pancasila yang dijadikan ideology tunggal pada masa itu seolah-olah hanya berlaku di mulut saja dan tidak diterapkan secara nyata. Rezim yang gencar mempromosikan nilai-nilai Pancasila lengkap dengan bhineka tunggal ika-nya justru penuh dengan berbagai tindakan busuk yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang termaktub di dalam keduanya. Apakah korupsi, otoritarianisme, kolusi, nepotisme, perampasan hak rakyat, pemiskinan sistematis terhadap satu golongan tertentu, penindasan dan penyeragaman paksa budaya nasional, merupakan nilai-nilai yang termaktub dalam pancasila?

Oleh karena itulah tidak mengherankan ketika rezim Soeharto tumbang pada 21 Mei 1998, masyarakat kebanyakan menjadi antipati dan pada akhirnya melupakan pancasila. Karena selama 30 tahun lebih kekuasaan Soeharto, pancasila telah digunakan sebagai alat untuk membenarkan berbagai tindakan represifnya. Sehingga jadilah pancasila yang pada awalnya penuh dengan nilai-nilai luhur nenek moyang kita, berubah menjadi sebuah sosok menakutkan sehingga harus dilupakan bersamaan dengan hancurnya rezim Soeharto.

Paska 1998, NKRI menghadapi problema yang sangat serius. Persatuan yang dipaksakan pada masa Ir Soekarno dan Soeharto telah menimbulkan trauma luar biasa di dalam hati kebanyakan penduduk daerah. Berbagai komunitas adapt mulai menuntut hak-hak budaya mereka yang dirampas secara paksa oleh Soeharto. Propinsi-propinsi yang semasa Ir Soekarno dan Soeharto dieksploitasi habis-habisan demi memenuhi nafsu serakah Jakarta mulai lantang berbicara tentang pemisahan diri. Suku Jawa yang identik dengan penguasa menjadi sasaran aksi balas dendam suku-suku lain sebagaimana yang terjadi di Aceh dan Papua. Tidak cukup sampai di situ saja, rakyat Indonesia yang pada masa Soeharto tampak seolah-olah telah terintegrasi menjadi satu bangsa, mulai mengidentifikasikan diri mereka dengan identitas kesukuan masing-masing. Di Jakarta berdiri Forum Betawi Rempug, dan banyak lagi organisasi dengan basis kesukuan lainnya.

Fenomena politik identitas inilah yang disinggung oleh Prof Susetyawan beberapa waktu lalu ketika memaparkan tentang kepemimpinan dalam era otonomi daerah. Tesis beliau adalah Indonesia belum menjadi sebuah bangsa, tetapi baru merupakan suatu kumpulan suku. Hal ini didukung dengan fakta bahwa politik identitas kesukuan masih sering muncul dan bukan identitas sebagai satu bangsa yang bernama Indonesia.

Apakah tesis Prof Susetyawan itu benar? Mungkin iya, sebagaimana telah dipaparkan diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa ikatan sebagai satu bangsa yang bernama Indonesia masih bersifat artificial yang muncul karena keterpaksaan, dan ketika factor yang memaksanya hilang maka ikatan tersebut akan luntur dan hasilnya, bisa kita lihat sendiri, di Kalimantan suku Dayak dan Melayu berperang dengan Suku Madura, di Jakarta Suku Banten berebut kekuasaan dengan Suku Madura, Betawi dan Timor. Di Maluku dan Poso Islam dan Kristen saling serang. Jika kita merasa sebagai satu bangsa, apakah hal ini akan terjadi? Pendapat saya pribadi, rakyat Indonesia belumlah merasa terikat sebagai satu bangsa, sehingga ketika terjadi suatu persoalan, politik identitas kesukuan akan langsung mencuat dan dapat dengan mudah mendapat dukungan dari masing-masing pihak yang bertikai.

Singkat kata, Saat ini belumlah ada bangsa yang bernama Indonesia, tapi yang ada saat ini adalah kumpulan suku-suku yang terikat dalam bingkai NKRI. Tapi belum terlambat rasanya untuk mulai membentuk bangsa yang bernama bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar