Sabtu, 16 April 2011

Nusantara (Bagian 1)

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Tuanku Muhammad Daudsyah Johan Berdaulat, Sultan Kesultanan Aceh Darussalam Terakhir

Permulaan abad 20 merupakan masa suram bagi Bangsa Melayu di seluruh kepulauan Nusantara. Pada tahun 1904, Kesultanan Aceh Darussalam yang merupakan salah satu negeri Melayu terkuat di Kepulauan Nusantara berhasil ditaklukan oleh Belanda setelah peperangan selama 31 tahun sejak 23 Maret 1873. Pada tahun 1902 Kesultanan Patani Darusalam yang sejak tahun 1875 diduduki oleh Kerajaan Siam akhirnya dihapuskan, bahkan pada tahun 1909 secara resmi kawasan Kesultanan Patani yang meliputi propinsi Patani, Narathiwat, Yala, Songkhla, dan Pathalung serta bagian utara Kesultanan Kedah, yang sekarang menjadi propinsi Satun secara resmi digabungkan ke dalam administrasi Kerajaan Siam. Kesultanan Patani Darussalam yang dulu sempat menjadi negeri Melayu terkuat di Semenanjung Malaya, dan bahkan hampir menaklukan Siam pada tahun 1563 di bawah kepemimpinan Sultan Muzhafar Shah akhirnya harus tunduk pada kekuasaan Kerajaan Siam.Tidak cukup sampai Patani, Kerajaan Siam bahkan sempat mengancam kedudukan Kesultanan Kelantan Darul Naim, Kerajaan Perlis Indera Kayangan, Kesultanan Terengganu Darul Iman dan Kesultanan Kedah Darul Aman.


Adalah perjanjian Anglo-Siam 1909 yang secara sepihak membagi – bagi tanah Melayu dalam kekuasaan Kerajaan Siam dan Inggris. Perjanjian yang dibuat secara sepihak tanpa memperhatikan aspirasi Bangsa Melayu tersebut menyerahkan kedaulatan Kesultanan Patani Darussalam dan bagian utara Kesultanan Kedah Darul Aman kepada Kerajaan Siam. Sedangkan Kesultanan Kelantan Darul Naim, Kesultanan Terengganu Darul Iman, Kesultanan Kedah Darul Aman dan Kerajaan Perlis Indera Kayangan diserahkan kepada Inggris. Bermula sejak itulah kebijakan Siamisasi diarahkan kepada Bangsa Melayu Muslim yang tinggal di Patani Darusalam dan Sentul (Satun).

Pada 1913 dua kesultanan Melayu di Pulau Mindanao pada akhirnya tunduk pada penjajahan Amerika Serikat setelah melalui perang sejak tahun 1898. Baru setelah tentara Amerika Serikat meniru taktik brutal Belanda ketika menghadapi semangat jihad rakyat Aceh, Bangsa Melayu di Kesultanan Sulu Darul Islam dan Kesultanan Maguindanao bisa takluk. Kesultanan Sulu Darul Islam merupakan salah satu negeri Melayu terkuat di timur kepulauan Nusantara. Kesultanan yang pernah menguasai sebagian besar Pulau Mindanao, Pulau Palawan, Kepulauan Sulu hingga Sabah dan bagian utara Kalimantan Timur ini berperang selama 375 tahun menghadapi penjajah Spanyol dan usaha Kristenisasi yang dibawanya. Lelah berperang dengan Bangsa Melayu, dan pemberontakan Bangsa Melayu Kristen di utara Philipina, Spanyol akhirnya menjual Philipina dan wilayah Kesultanan Sulu Darul Islam dan Kesultanan Maguindanao kepada Amerika Serikat pada tahun 1898 melalui Traktat Paris.

Kuburan Masal Pejuang Kesultanan Sulu Darul Islam dan Maguindanao

Masa – masa suram Bangsa Melayu pada awal abad ke 20 tersebut kemudian akan membangkitkan semangat Pan-Melayu dikalangan Bangsa Melayu yang tersebar di Kepulauan Nusantara, termasuk kawasan Philipina. Walaupun berkembang pesat paska perang dunia pertama, gagasan Pan-Melayu sudah muncul sejak abad ke 19. Adalah Jose Rizal, seorang Melayu Katholik asal Philipina yang merupakan salah satu pionir gagasan Pan-Melayu. Hal yang sangat menarik adalah, jika pada saat belakangan gagasan Pan-Melayu seringkali diidentikan sebagai gagasan anti Cina, justru pada masa awal kelahirannya gagasan ini di dukung oleh Jose Rizal yang juga merupakan keturunan campuran imigran Cina dari Quangzou dan Melayu Katholik. Sangat menarik untuk melihat perkembangan gagasan Pan-Melayu, atau juga sering dikenal sebagai Indonesia Raya,Melayu Raya dan Nusantara. Pada abad ke 19 gagasan ini mulai muncul di kalangan Bangsa Melayu Katholik di Kepulauan Philipina. Jose Rizal pernah mendorong penduduk Philipina untuk mempelajari bahasa Melayu untuk menguatkan akar Melayu penduduk Philipina yang mayoritas beragama Katholik. Namun pada awal abad ke 20 gagasan Pan-Melayu diadopsi oleh kelompok Islam. Adalah para pelajar Melayu dari Hindia Belanda dan British-Malaya di Universitas Al Azhar yang kemudian mengembangkan konsep Pan-Melayu pada tahun 1920-an. Media masa baik di Kairo, Penang, Sumatera hingga Jawa, seperti Suara Azhar di Kairo, Saudara di Penang, Pewarta Deli di Sumatera, Bintang Hindia, Pedoman Masjarakat dan Fikiran Rakjat di Jawa menjadi corong Pan-Melayu.

Jose Protasio Rizal Mercado, salah satu pioner gagasan Pan-Melayu. Dieksekusi Spanyol pada 1896 karena terlibat dalam Revolusi Philipina

Di bagian timur Nusantara, Wenceslau Quinito Vinzon pada tahun 1923 menulis essai-pidato berjudul Malaysia Irredenta yang mengemukakan gagasan negara Melayu raya yang meliputi seluruh Kepulauan Nusantara. Lebih jauh Wenceslau kemudian membentuk Perhempoenan Orang Melayoe. Perhimpunan ini menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar untuk menguatkan ikatan Ras Melayu penduduk Philipina. Termasuk anggota perhimpunan ini adalah Diosdado Macapagal, yang kelak pada tahun 1963 menjadi Presiden Philipina yang juga menjadi pengusul Maphilindo, federasi Malaysia, Philipina dan Indonesia, sebelum pecah konfrontasi antara Indonesia – Malaysia

Wenceslao Quinito Vinzon, Pengagum Jose Rizal sekaligus yang berusaha mewujudkan gagasan Pan-Melayu Jose Rizal. Dieksekusi tentara pendudukan Jepang pada tahun 1942

Gagasan Pan-Melayu di kawasan Melayu Islam tidak hanya diadopsi kelompok Nasionalis Islam, pada perkembangan, terutama paska pemberontakan kaum Komunis di Jawa dan Sumatera pada 1926 – 1927 gagasan Pan-Melayu juga kemudian didukung oleh kaum Komunis. Jika di Philipina ada Jose Rizal dan Wenceslau Quinito Vinzon, Kaum Nasionalis Islam memiliki Syaikh Mohd. Thahir Jalalludin, kaum Komunis memiliki Tan Malaka yang menyerukan Pan-Melayu.

Syaikh Mohd. Thahir Jalalludin, Ulama kelahiran Minangkabau yang merupakan murid dari Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, Syaikh Ahmad Al Fatani dan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha. Merupakan salah satu pendukung Pan-Melayu dari Penang.

Pada tahun 1930-an, gagasan Pan-Melayu lebih dominan dianut kelompok Komunis dan Sosialis. Sedangkan kelompok Islam sedikit terpinggirkan karena kesulitan mereka dalam mengimplementasikan konsep mereka tentang Pan-Melayu. Di sisi lain para pendukung Pan-Melayu melihat gerakan proletarian yang diusung kaum Komunis-lah yang akan banyak membantu mewujudkan sebuah negara Melayu Raya. Namun gagasan Pan-Melayu pada tahun 1930-an tidak eksklusif milik kaum Komunis. Muhammad Yamin seorang pendukung sosialisme yang sama – sama berasal dari Minangkabau seperti Tan Malaka adalah juga seorang pendukung gigih Pan-Melayu. Bahkan Soekarno juga menjadi pendukung Pan-Melayu walaupun tidak seterbuka Tan Malaka dan Muhammad Yamin.

Muhammad Yamin, salah satu Tokoh Pan-Melayu paling gigih di Hindia Belanda

Satu lagi kelompok yang berperan dalam perjungan gagasan Pan-Melayu pada tahun 1930-an adalah kaum fasis Indonesia. Partai Indonesia Raya di bawah pimpinan dr. Sutomodan Partai Fasis Indonesia di bawah pimpinan dr. Notonindito. Walaupun Partai Indonesia Raya lebih tertutup dalam mengadopsi fasisme, namun kedua partai kaum fasis Hindia Belanda ini memiliki kesamaan, yaitu mendasarkan perjuangan Pan-Melayu pada feodalisme dan romantisme masa Majapahit. Bahkan lebih jauh Partai Fasis Indonesia memimpikan Nusantara yang akan disatukan di bawah naungan seorang raja dari dinasti Penembahan Senopati.

Pengurus Partai Indonesia Raya

Ide Pan-Melayu secara luas diterima bahkan dipropagandakan pada masa penjajahan Jepang. Kelompok pro Pan-Melayu di Semenanjung Malaya yang tergabung dalam KMM (Kesatuan Melayu Muda) di bawah pimpinan Ibrahim bin Haji Yaakob mencoba memperjuangkan Pan-Melayu dengan berkolaborasi dengan Jepang. Di Hindia Belanda pun, penjajahan Jepang dilihat sebagai peluang untuk mewujudkan cita-cita Pan-Melayu, yaitu mendirikan negara Melayu Raya.

Usaha paling nyata untuk merealisasikan cita-cita Pan-Melayu adalah yang dilakukan oleh Muhammad Yamin dalam sidang BPUPKI. Saat itu Muhammad Yamin mengusulkan mengenai wilayah negara Indonesia yang akan berdiri harus mencakup seluruh kawasan Hindia Belanda, New Guinea, Borneo Utara, Semenanjung Malaya dan Timor Portugis. Usulan Muhammad Yamin ini didukung oleh banyak anggota BPUPKI, termasuk Sukarno yang menyatakan bahwa ada tiga orang utusan dari Singapura dan Letkol Abdullah Ibrahim dari Semenanjung Malaya (Ibrahim bin Haji Yaakob) juga mendukung gagasan tersebut. Bahkan Mohammad Hatta yang lebih mendukung bahwa Indonesia hanya akan mencakup Hindia Belanda saja tidak menolak usulan Muhammad Yamin tersebut. Dalam voting usulan Muhammad Yamin diterima 39 anggota dari 62 anggota BPUPKI, yang pada akhirnya menjadikan gagasan Pan-Melayu minus Philipina dijadikan bagian rekomendasi BPUPKI bagi pembentukan negara Indonesia.

Ibrahim bin Haji Yaakob. Pimpinan KMM, setelah pendaratan Inggris ke Semenanjung Malaya, beliau mengikuti saran Sukarno untuk pindah dan berjuang dari Jawa untuk kemerdekaan Indonesia Raya

Pada 29 Juli 1945 dengan dukungan militer Jepang, Ibrahim bin Haji Yaakob mulai menyiapkan kongres Pemuda Melayu yang akan diadakan pada 16 dan 17 Agustus 1945 di Kuala Lumpur. Kongres tersebut bertujuan untuk menyatakan dukungan dari rakyat Semenanjung Malaya terhadap kemerdekaan Indonesia, menyatakan keinginan rakyat Semenanjung Malaya untuk bersatu dengan Indonesia dan memilih delegasi untuk hadir dalam upacara kemerdekaan Indonesia.

Pimpinan KMM

Bersamaan dengan itu Ibrahim bin Haji Yaakob mulai mempersiapkan pembentukan pemerintahan interim tanpa sepengetahuan Jepang. Pemerintahan interim tersebut akan diumumkan pada saat yang sama saat proklamasi kemerdekaan Indonesia. Termasuk dalam pemerintahan interim itu adalah Sultan Perak, Sultan Pahang, Sultan Johor, Datuk Onn bin Jafar, Datuk Abdul Rahman Johor, Datuk Husain Muhammad Taib Pahang, dan Raja Kamarulzaman Raja Mansor Perak.

Sultan Abdul Aziz dari Perak bersama Raja Perempuan Khadijah.

Ibrahim bin Haji Yaakob juga membentuk delegasi sebanyak 8 orang yang akan hadir dalam upacara kemerdekaan Indonesia, yaitu perwakilan dari sultan – sultan Semenanjung Malaya yang terdiri dari Sultan Abdul Aziz Perak dan 3 sultan lain, serta 4 aktivis KMM, yaitu Ibrahim bin Haji Yaakob, dr Burhanudin, Onan Haji Siraj dan Hassan Manan.


Ketika pada 8 Agustus 1945 rombongan Sukarno dan Hatta transit di Singapura dalam perjalanan menuju Saigon mereka disambut anggota KMM, yaitu Hassan Manan, Pacik Ahmad dan Onan Haji Siraj yang kembali menyatakan keinginan rakyat Semenanjung Malaya bergabung dengan Indonesia. Bahkan aktivis KMM mengibarkan bendera merah putih di beberapa tempat di Singapura, salah satunya di atas bangunan bioskop Cathay.

Pertemuan Taiping 12 Agustus 1945. Dari kiri ke kanan: Prof. Akamatsu, Muhammad Hatta, Pakcik Ahmad, Radjiman Widiodiningrat (Katua BPUPKI), Sukarno, Ibrahim bin Haji Yaakob (Ketua KMM), Prof. Yoichi Itagaki

Sepulang dari Saigon, pada 12 Agustus 1945 rombongan Sukarno – Hatta bertemu dengan Ibrahim bin Haji Yaakob bersama Jenderal Umezu dan Itagaki di Taiping. Dalam pertemuan tersebut Ibrahim bin Haji Yaakob bersama beberapa aktivis KMM melaporkan persiapan kemerdekaan rakyat Semenanjung Malaya di dalam naungan Indonesia Raya. Ibrahim Haji Yaakob juga mengusulkan bahwa kemerdekaan Semenanjung Malaya akan dideklarasikan pada akhir agustus, bersamaan dengan kemerdekaan Indonesia, dan utusan 8 orang dari Semenanjung Malaya akan menghadiri deklarasi kemerdekaan Indonesia.

Menanggapi usulan Ibrahim bin Haji Yaakob tersebut Sukarno menyatakan, “Mari kita wujudkan tanah air untuk seluruh etnis Indonesia”. Ucapan Sukarno ini ditanggapi oleh Ibrahim, “Kami orang Melayu akan berteguh hati mewujudkan tanah air dengan menyatukan Malaya dengan Indonesia. Kami orang Melayu ditakdirkan untuk menjadi Bangsa Indonesia”


Sementara itu di hotel Station Kuala Lumpur, utusan organisasi Melayu berdatangan dari seluruh Semenanjung Malaya, bahkan juga dari Patani, Singapura dan Kepulauan Riau. Walaupun sabotase dari anggota MPAJA (Malayan People Anti Japanese’s Army) yang mayoritas anggotanya berasal dari etnis Cina dan kaum Komunis, perwakilan organisasi – organisasi Melayu tetap berusaha datang ke Kuala Lumpur.

(Bersambung...)

Rujukan:

Cheah Boon Kheng, 1979, Jurnal Indonesia Volume 28, The Japanese Occupation of Malaya, 1941 - 1945: Ibrahim Yaacob and The Strugle for Indonesia Raya, Cornel University.

Graham K. Brown, 2005, The Formation and Management of Political Identities: Indonesia and Malaysia Compared, University of Oxford.

Greg Poulgrain, 1998, The Genesis of Konfrontasi: Malaysia, Brunei and Indonesia 1945-1965, C. Hurst & Co. Ltd

Harry A. Poeze, 2008, Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid 1, Koninklijk Instituut voor Taal, Land, en Volkenkunde

Riwanto Tirtosudarmo, 2005, The Orang Melayu and Orang Jawa in the Lands Below the Winds, University of Oxford

http://alifrafikkhan.blogspot.com/2009/08/partai-fascist-indonesia-pfi-dan.html

http://blog.nus.edu.sg/hy4210/2010/10/18/japanese-occupation/

http://lazacode.com/organizations/kesatuan-melayu-muda-history

http://www.geocities.ws/prawat_patani

http://www.angelfire.com/id/sidikfound/moro.html

http://www.usm.my/index.php/about-usm/news-archive/66-news-highlight/6025-MALAYS-NEED-TO-BE-WISE.html

http://www.wikipedia.org/

Sumber foto:

http://belajarsejarah.com/

http://sembangkuala.wordpress.com/2010/07/24/31st-sultan-of-perak-sultan-abdul-aziz-mu%E2%80%99tassim-billah-shah-ibni-almarhum-raja-muda-musa-i-1938-1948/

Sabtu, 05 Februari 2011

Syaikh Muhammad Hassan Tentang Revolusi Mesir

بسم الله الرحمن الرحيم

Syaikh Muhammad Hassan Al Mishri merupakan salah satu Ulama Ahlus Sunnah di Mesir. Berikut adalah rekaman nasihat beliau mengenai revolusi yang sedang terjadi di Mesir


Senin, 31 Januari 2011

Revolusi Mesir -1

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Selasa, 25 Februari 2011 merupakan tanggal bersejarah bagi warga Mesir. Pada hari itu ratusan ribu warga Mesir turun ke jalan untuk men
umpahkan amarah mereka terhadap rezim Hosni Mubarak yang sudah berkuasa selama 30 tahun. Walaupun sudah lewat satu minggu dari saat dimulainya aksi demonstrasi rakyat Mesir, dan rezim Hosni Mubarak masih berkuasa walaupun pondasinya telah terguncang hebat tapi semangat rakyat Mesir untuk menumbangkan rezim berkuasa tetap menggelora.

25 Januari 2011 dengan slogan يوم الغضب
atau hari amarah, ratusan ribu rakyat mesir turun ke jalan untuk pertama kalinya dengan skala yang sangat besar. Tidak hanya di Kairo, tapi juga di Alexandria, Suez, Mahalla, Ismailliya, Aswan dan kota - kota lainnya di seluruh mesir. Terisnpirasi oleh revolusi Yasmin di Tunisia yang berhasil menggulingkan rezim Zine Al Abidin Bin Ali, pihak oposisi Mesir mulai bergerak mengorganisasi protes dalam skala besar.

gerakan 25 Januari sangat mengejutkan banyak pihak, karena diorganisir oleh kelompok pemuda Mesir melalui jejaring facebook dan twitter. Di sisi lain pihak oposisi terbesar di Mesir,
Ikhwan al Muslimin tidak secara resmi memberikan dukungannya, walaupun banyak anggota Ikhwan al Muslimin yang ikut bergabung dalam aksi tersebut, terutama di Alexandria yang merupakan basis kekuatan Ikhwan al Muslimin.
Dalam aksi tersebut 3 demonstran dan 3 polisi tewas. Sebagian besar di Suez, kota industri di mulut terusan Suez. Sebagai reaksi dari kebrutalan polisi pada Jumat, 28 Januari 2011 kelompok - kelompok oposisi menyerukan rakyat Mesir untuk kembali turun ke jalan dalam
جمعة الغضب, setelah pelaksanaan Sholat Jumat.

Pada hari jumat itulah demonstrasi dalam jumlah luar biasa besar turun ke jalan - jalan setelah selesai sholat Jumat. di halaman - halaman puluhan bahkan ratusan Masjid di Mesir para jamaah dan demosntran berkumpul dan memulai aksi demonstrasi mereka. Di Alexandria demonstrasi dimulai di salah satu Masjid yang pada tahun lalu juga digunakan untuk tempat demonstrasi kelompok aktivis HAM dalam mengecam kebrutalan polisi yang menyiksa Khalid said.
Muhammad Bouazizi di Tunisia, Khalid Said di Mesir


Revolusi yasmin di Tunisia berawal saat Muhammad Bouazizi, se
orang pedagang sayur dan buah membakar dirinya sendiri sebagai bentuk protes atas perlakuan polisi. Sebelumnya Bouazizi yang harus menghidupi orang tua dan 6 saudaranya dengan berjualan buah dan sayur di tepi jalan mendapat perlakuan kasar dari polisi.

3 polisi wanita menyita gerobak Bouazizi dan mempermalukannya di depan umum dengan mencerca, meludahi hingga memukulinya. Diduga insiden tersebut terjadi karena Bouazizi tidak mampu menyuap ketiga polisi tersebut, sehingga membuat ketiganya marah. Bouazizi sebelumnya sudah berkali - kali berurusan dengan para polisi korup karena tidak mampu membayar suap.

Namun kali ini Bouazizi tidak tinggal diam, dia memprotes perlakuan polisi tersebut ke kantor gubernur Sidi Bouzid. Karena diabaikan Muhammad Bouazizi kemudian membakar dirinya di depan kantor gubernur Sidi Bouzid. Insiden tersebut membakar amarah warga Sidi Bouzid dan kemudian menjalar ke berbagai kota di Tunisia paska kematian Bouazizi. Sejak itulah Bouazizi menjadi inspirasi bagi warga Tunisia untuk tidak lagi tinggal diam atas kesewenang - wenangan rezim Zine Al Abidin Bin Ali.


Jika di Tunisa ada Muhammad B
ouazizi, di Mesir ada Khalid Said. Pemuda berusia 28 tahun yang tewas di siksa polisi di kawasan Sidi Gaber, Alexandria. Kebrutalan polisi yang memukuli Khalid Said saat berada di sebuah warnet tersebut membakar amarah banyak warga Mesir. Khalid Said sebelumnya secara tidak sengaja merekam 2 oknum polisi terlibat dalam transaksi narkotika, di duga hal tersebut yang memicupembunuhan terhadap Khalid Said.

Kebrutalan polisi tampak dari hancurnya tengkorak dan wajah Khalid Said. Penyiksaan yang terjadi di depan umum tersebut menunjukkan kesewenang - wenangan aparat polisi di Mesir. Sebelumnya kebrutalan polisi Mesir sudah terkenal namun tidak secara terbuka ditunjukkan. Paska insiden Khalid Said brutalitas polisi Mesir mulai mendapat perhatian luas, terutama setelah foto wajah Khalid Said yang hancur tersebar luas.

Jum'at Al Ghadhab (جمعة الغضب)


Jum'at 28 Januari 2011, demonstrasi lebih besar terjadi di berbagai penjuru Mesir. Setelah sholat Jumat ratusan ribu orang kembali turun ke jalan menuntut pengunduran diri Hosni Mubarak. slogan كفاية
(cukup) bergaung di Lapangan Tahrir, Masjid Al Azhar, dan Jembatan 6 Oktober di Kairo. Sementara di Alexandria Ikhwan al Muslimin secara aktif mengorganisasi aksi جمعة الغضب. Bermula dari Masjid - Masjid aksi di Alexandria bisa dikatakan lebih bernuansa Islamis dibanding aksi pada hari yang sama di Kairo, Suez, Mahalla, Ismailiyya dan kota - kota lainnya.

Di Suez demonstran meneriakkan slogan
silmiyyah, silmiyyah yang berartidemonstran ingin melakukan aksi damai. Suez sejak 25 Januari telah menjadi tak ubahnya medan tempur, dengan konfrontasi paling keras antara polisi dan demonstran terjadi di sana.

Di Sinai, kelompok Arab Badui tak ketinggalan ikut serta dalam usaha menggulingkan Hosni Mubarak, setelah sehari sebelumnya terjadi baku tembak antara polisi dan pemuda Badui di Syeikh Zoweid.

Aksi hari jumat menjadi
turning point bagi politik Mesir. Untuk pertama kalinya pondasi - pondasi kekuasaan rezim Hosni Mubarak goyah. kantor partai berkuasa di bakar di Kairo. beberapa kantor polisi di Alexandria dan Suez dibakar demonstran. dan polisi untuk pertama kalinya kalah dalam konfrontasi dengan demonstran.



dua video dari
al masry al youm menunjukkan gambaran aksi جمعة الغضب. video pertama menunjukkan konfrontasi antara demonstran dengan polisi di Jembatan Qasr Nil, ketika ratusan ribu demonstran dilarang melanjutkan aksi ke Lapangan Tahrir




Video kedua menunjukkan ribuan demonstran berhasil menduduki sebuah kantor polisi di Arba'in, Suez.



Demonstrasi hari jumat juga merupakan salah satu hari paling berdarah. pada malam hari aksi demonstrasi terus berlanjut, bahkan kantor pusat الحزب الوطني الديمقراطى (Partai Nasional Demokrat) berhasil dibakar demonstran anti Mubarak.


Paska bentrokan pada جمعة الغضب polisi Mesir tiba - tiba menghilang dari jalan - jalan. Sebagai gantinya segerombolan orang tak di kenal mulai melakukan perusakan fasilitas umum, menyerang penjara, bahkan menyerang pemukiman warga sipil. Hilangnya polisi dari tempat - tempat umum digantikan oleh tentara, namun tentara hanya menjaga beberapa obyek vital. Akibatnya warga Mesir harus bahu - membahu menjaga keamanan lingkungan masing - masing.

Lenyapnya polisi dari tempat - tempat umum oleh banyak penduduk Mesir dianggap sebagai taktik balas dendam yang dilancarkan Hosni Mubarak dan Menteri dalam Negeri Habib Al Adly terhadap rakyat Mesir. Cara ini dilakukan agar demonstran anti Mubarak mendapatkan antipati dari masyarakat umum karena digambarkan suka merusak fasilitas umum dan menjarah properti rakyat Mesir. Di samping itu cara tersebut di duga juga untuk "mengajarkan" rakyat Mesir bahwa keamanan yang selama ini ada di bawah kepemimpinan Hosni Mubarak akan hilang jika Hosni Mubarak turun dari jabatannya.

(Bersambung...)
www.english.aljazeera.net
www.almasryalyoum.com
www.arabist.net

sumber foto:

Minggu, 16 Januari 2011

Poem on Jannah By Ammar Al Shukry



Beautiful poem written by Ammar Al Shukry about paradise (Jannah). This Video produce by Bilal Khan from Leechon Inc.

Ammar Al Shukry is one of du'at in New York.

This poem describe the condition in jannah, and motivate us to pursue jannah by doing everything that is obligatory upon us and stay away from everything that Allah 'Azza Wa Jalla forbade us. We ask Allah to rewards both brothers for their efforts to reminds us, and we ask Allah to soften our heart and make us steadfast in Shiratal Mustaqim, Aamin

Here is the transcript of the poem:

Close your eyes and imagine this

Eternal bliss,

your every wish,

at your finger tips

and more...




Perched on a throne, near a stream

So serene, and exquisite a scene

You've never seen

Yet you still dream

of more....




Gone is grief, gone is fear

Gone is pain, gone are tears

Idle speech you shall never hear

And the Prophets make up your social sphere

and more...




The martyrs, righteous and truthful too

You are from them, and they from you

They held tightly to what they knew was true

To accompany them, you did too

theres more..




Maidens, chaste, who restrain their gaze

Lost in a glance for days and days

Fun and frolic, as a child plays

Where the breath that leaves your lips is praise

of the One that gave you more




Imagine you and your father, with ages the same

Imagine showing off your book with no shame

Imagine nights with the Companions, with their stories to entertain

Imagine Muhammad (S) knowing your name

What could be there more..




Gardens underneath which rivers flow

A goal so far, and yet so close

A journey worth taking, for those who know

Do you not wish to go..

for more?




For all the bounties, all the grace

All the pleasures, sights, smells and tastes

Will be forgotten, without a trace

as if frozen in time and space

When you see His Face




What an excellent Master, of a miserable slave

You forgot and He forgave

He gave you guidance, you still strayed

You asked for mercy, that He gave

and more...

Rabu, 05 Januari 2011

Darfur: A Call to Action

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Darfur: A Call To Action adalah sebuah film dokumenter yang dibuat oleh Save Darfur Coalition yang menjelaskan secara singkat mengenai konflik Darfur yang berlangsung sejak tahun 2003. Film ini menceritakan tentang pandangan agama - agama besar (Islam, Kristen dan Yahudi) terhadap kejahatan kemanusiaan, dan dengan itu memberikan landasan moral untuk membantu penduduk Darfur.

Film ini menceritakan pada kita bahwa pesan moral yang dibawa oleh agama - agama tentang perdamaian dan persaudaraan merupakan instrumen yang sangat kuat untuk mengalahkan kesewenang-wenangan. Semoga menginspirasi kita untuk bertindak, sekecil apapun tindakan kita tentu akan sangat berarti bagi saudara kita di Darfur. Karena sudah menjadi kewajiban kita sebagai Muslim dan sesama manusia untuk membantu meringankan penderitaan sesama.



Jika tidak dapat ditonton, silakan buka halaman http://video.google.com/videoplay?docid=8549521978463370846&ei=-OshSefgI5ycrAKB84noBg&q=darfur+a+call+to+action#

Satu Lagi Krisis Kemanusiaan?

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Peta Sudan
Biru: Sudan Selatan
Hijau: Darfur
Merah: Abyei
Pink: Pegunungan Nuba dan Nil Biru
Ungu: Front Timur

9 Januari 2011 akan menjadi tanggal penentuan bagi Sudan. Pada hari itu akan diselenggarakan referendum yang akan menentukan apakah Sudan Selatan akan tetap bergabung dengan Sudan atau akan menjadi negara sendiri. Pada tanggal yang sama Abyei, kawasan di perbatasan Sudan Selatan dan Utara juga akan menyelenggarakan referendum untuk memutuskan akan bergabung dengan utara atau selatan. Referendum yang merupakan salah satu keputusan dalam perjanjian damai antara pemerintah Sudan di bawah rezim Omar Al Bashir dengan kelompok pemberontak SPLA (Sudan People's Liberation Army) di bawah pimpinan Dr. John Garang merupakan tonggak sejarah yang akan menentukan sejarah Sudan ke depan.

Omar Al Bashir

Namun yang menjadi kekhawatiran banyak pihak bukan mengenai pelaksanaan referendum atau kemungkinan Sudan selatan menjadi negara sendiri, Kekhawatiran banyak pihak justru lebih pada kemungkinan pecahnya perang baru paska referendum. Bagi sebagian besar penduduk di Sudan Utara kemungkinan Sudan Selatan menjadi negara terpisah bisa dikatakan sudah menjadi pendapat umum, walaupun sebagian masih tetap berusaha untuk mengkampanyekan Sudan yang bersatu. Di sisi lain penduduk Sudan selatan tampak tidak sabar untuk menyongsong referendum 9 Januari, dan bahkan jauh sebelum referendum dilaksanakan penduduk Sudan Selatan sudah terbawa eforia kemerdekaan Sudan Selatan.

Bahkan Omar Al Bashri dalam salah satu pernyataannya mengungkapkan bahwa ia akan menghormati hak penduduk sudan Selatan untuk menentukan nasibnya sendiri. Berpisahnya Sudan Selatan dari Sudan mungkin tidak dapat terelakan. Karena berbagai faktor sejarah penduduk Selatan yang mayoritas beragama Kristen dan Animisme tampaknya sangat tidak ingin bersatu dengan Utara yang mayoritas dihuni Nubia Arab yang beragama Islam. walaupun interaksi antara penduduk utara dan selatan telah berlangsung selama ratusan tahun, namun perang saudara Sudan yang terjadi sebanyak dua kali lah yang menjadi titik tolak hubungan utara dan selatan Sudan.

Perang saudara pertama terjadi pada tahun 1955 - 1972 yang mengakibatkan kurang lebih 500,000 jiwa tewas dan ratusan ribu lainnya terpaksa mengungsi. sebagian besar korban jiwa dan pengungsi berasal dari Sudan Selatan. Perang saudara kedua terjadi pada tahun 1983 - 2005 dan menewaskan 2 juta jiwa, dan lebih dari 4 juta lainnya terpaksa mengungsi. sebagian besar korban juga merupakan warga Sudan Selatan. Pada perang saudara kedua inilah Omar Al Bashir yang memperoleh kekuasaan melalui pemberontakan dengan dukungan Hassan at Turabi menggunakan Islam sebagai salah satu instrumen untuk mendapatkan dukungan dari penduduk sudan utara dalam menghadapi pemberontak SPLA.

Hassan At Turabi

Dengan menggunakan dalih Jihad, rezim Omar Al Bashir melakukan kekejaman yang sangat membekas di benak sebagian besar penduduk Sudan selatan yang mayoritas memang non Muslim. Namun pelanggaran HAM tidak mutlak dilakukan oleh pihak utara, pihak selatan yang dikomandoi SPLA juga turut serta melakukan pelanggaran HAM, terutama terhadap penduduk Arab Misseriyya, Sulaim dan Baggara dan suku - suku Muslim lainnya yang tinggal di 3 kawasan perbatasan utara dan selatan, yaitu Abyei, Pegunungan Juba dan Nil biru. Sementara 3 kawasan di selatan sudan merupakan kawasan paling parah yang mengalami kerusakan. Bahr Al Ghazal yang dulu pernah dikuasai Amir Muslim terkenal Az Zubair Rahma Manshur dan menjadi tempat interaksi suku - suku Arab Muslim dengan suku - suku Afrika seperti Nuer, Dinka, Shilluk dan Acholi yang mayoritas merupakan penganut Animisme dan Kristen menjadi lokasi perang paling sengit. Ratusan ribu penduduk selatan dipaksa pindah ke utara, terutama ke Khartoum dan kawasan sekitarnya, dan terus hidup dalam kemiskinan ekstrim. Banyak penduduk selatan yang tinggal di utara diperlakukan sebagai warga negara kelas dua oleh rezim Omar Al Bashir.

Dan saat ini ketika ada kesempatan bagi penduduk selatan untuk memutuskan nasib mereka sendiri, maka ratusan ribu penduduk selatan yang dipaksa tinggal di utara berbondong - bondong kembali ke tanah kelahiran mereka di selatan. 4 juta penduduk Sudan selatan sudah terdaftar untuk ikut serta dalam referendum 9 Januari. Namun potensi konflik masih terbuka lebar. Selain kawasan perbatasan yang terdiri dari Abyei, Pegunungan Nuba dan Nil biru yang pasti akan diperebutkan oleh kedua belah pihak, masalah demografi juga menjadi masalah. Ada ratusan ribu penduduk utara yang saat ini tinggal di selatan, dan karena latar belakang etnis mereka tidak berhak ikut dalam referendum 9 Januari. Selain itu warga Muslim dari suku Dinka, Nuer dan suku - suku lainnya yang merupakan kelompok minoritas walaupun mereka berhak ikut dalam referendum, namun tetap saja mereka mengalami ketakutan jika sudan selatan merdeka meraka akan menjadi sasaran balas dendam oleh penduduk selatan. Karena identitas agama mereka yang identik dengan penduduk utara (Islam) mereka sering menghadapi diskriminasi oleh sesama penduduk selatan. warga Muslim lokal bersama warga Muslim Arab yang berasal dari Sudan utara sama - sama berbagi ketakutan akan menjadi sasaran balas dendam warga selatan jika Sudan Selatan merdeka.

Warga Arab Muslim di Nil Atas, salah satu negara bagian Sudan Selatan
Warga Arab di Sudan Selatan

Di samping faktor trauma sejarah selama 2 kali perang saudara, kemungkinan konflik juga terbuka karena sebagian besar penduduk utara yang tinggal di selatan merupakan kelas menengah dan menguasai perdagangan di selatan. Sementara itu penduduk selatan maupun penduduk selatan yang kembali dari Khartoum sebagian besar hidup dalam kemiskinan.

Ribuan warga sudan selatan kembali ke tanah kelahiran mereka dari sudan utara

Persoalan lainnya adalah suku - suku Arab nomaden, seperti Arab Misseriyya dan Arab Sulaim yang hidupnya berpindah mengikuti curah hujan. kawasan yang dihuni oleh suku - suku Arab Muslim ini merupakan kawasan perbatasan Utara dan Selatan yang diperebutkan. Arab Misseriyya menempati kawasan Kordofan yang masuk dalam Sudan Utara, namun Abyei merupakan tanah asal leluhur mereka, dan kadang mereka juga menggembalakan ternak mereka hingga kawasan Bahr Al Ghazal di Sudan Selatan. Arab Sulaim menghabiskan 11 bulan dalam satu tahun menggembalakan ternak mereka di Bahr Al Ghazal dan Nil Atas yang masuk kawasan Sudan Selatan. Namun karena mereka Arab (walaupun aslinya mereka adalah suku afrika yang terarabkan) mereka tidak berhak ikut dalam referendum 9 Januari.

Walaupun mayoritas beragama Kristen, penduduk sudan selatan selama berabad - abad mengadopsi pakaian warga Arab Muslim, bahkan bahasa yang digunakan juga merupakan bahasa arab dengan aksen khas Juba
Wanita selatan dengan pakaian utara. Perpaduan budaya di sudan menciptakan Arab berkulit hitam dan kulit hitam yang terarabkan

Ketika 9 Januari makin mendekat, ketegangan antara suku - suku yang bertetangga selama ratusan tahun ini pun mulai tampak. Ketika Suku Dinka di Abyei dengan semangat mengkampanyekan agar Abyei bergabung dengan selatan, Suku Arab Misseriyya menyatakan mereka tidak akan pernah membiarkan Abyei dianeksasi oleh selatan.

Suku Dinka berkampanye mendukung penggabungan Abyei dengan selatan
Warga Arab Nubia berkampanye untuk persatuan Sudan

Bishtina Muhammad Al Salam, salah satu pimpinan Suku Arab Misseriyya bahkan mengancam, "Jika orang - orang Dinka memutuskan bergabung dengan Selatan, maka akan ada perang tanpa alasan lagi"

Di Pegunungan Nuba, konflik antara Suku Nuba yang mendukung SPLA dengan Suku Arab Baggara telah berlangsung sejak perang saudara kedua, konflik antara keduanya dapat kembali pecah paska referendum 9 Januari.

Suku Nuba
Pedagang dari Suku Arab Baggara

Omar Al Bashir sendiri dalam salah satu kesempatan menungkapkan bahwa tidak akan ada alternatif dari persatuan Sudan. Pernyataannya ini membuat banyak membuat takut banyak aktivis perdamaian. Karena Omar Al Bashir yang di dakwa oleh ICC melakukan kejahatan perang dan genosida pada 2009 dan 2010 silam merupakan tokoh yang terkenal dengan kebrutalannya. Omar Al Bashir bertanggung jawab atas kematian 300,000 penduduk Darfur dan membuat hampir 3 juta lainnya mengungsi. Di samping juga kematian 2 juta jiwa selama perang saudara kedua. Omar Al Bashir juga bertanggung jawab atas kebrutalan kampanye militer di Timur sudan yang menyebabkan ribuan suku Beja dan Arab Rashaida tewas.

Apa pun hasil dari referendum 9 Januari tampaknya konflik tak akan dapat dihindarkan. Untuk itu sejak jauh - jauh hari banyak lembaga kemanusiaan internasional termasuk aktivis kemanusiaan sudah mengkampanyekan untuk mencegah perang yang mungkin akan terjadi antara Sudan Utara dan Selatan. Bahkan beberapa lembaga kemanusiaan internasional sudah mulai menyiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terburuk, krisis kemanusiaan yang akan mungkin terjadi di sudan.

Di Samping kemungkinan perang antara Utara dan Selatan, harus juga diketahui bahwa kegagalan perundingan Doha antara rezim Omar Al Bashir dengan JEM (Justice and Equality Movement) membuka kemungkinan perang terus berlanjut di Darfur. Hal ini diperparah dengan gelombang kekerasan yang terjadi di Darfur sejak 10 Desember lalu, yang berpuncak pada pertempuran Dar El Salam, 56 Km utara El Fasher, ibukota Darfur Utara. Gelombang kekerasan yang terjadi sejak awal desember tersebut telah menyebabkan 32,000 jiwa mengungsi. Sementara itu untuk pertama kalinya sejak 2004 tiga faksi pemberontak di Darfur bekerja sama untuk menahan serbuan tentara pemerintah Sudan. Dalam pertempuran Dar El Salam milisi pemberontak JEM bersama milisi yang loyal kepada Minni Minawi dan Abdel Wahed Nur bekerja sama mengusir tentara pemerintah dari kota Dar El Salam. Setidaknya 40 pemberontak, 2 tentara pemerintah tewas dan ratusan warga mengungsi.

Delegasi Darfur dalam perundingan Doha

Omar Al Bashir pada Rabu, 29 Desember 2010 mengeluarkan ultimatum pada kelompok - kelompok pemberontak Darfur, "Jika kita mencapai kesepakatan, Alhamdulillah. Namun jika tidak kami akan menarik tim perunding kami dan perundingan selanjutnya hanya akan dilakukan di Darfur. Kami akan memerangi mereka yang memutuskan untuk mengangkat senjata dan kami akan berunding dengan mereka yang menginginkan pembangunan"

di 2011 ini Sudan menghadapi kemungkinan konflik di dua front. front pertama di perbatasan Sudan Utara dan Sudan Selatan, terutama di Abyei, Pegunungan Nuba, Nil Biru, Kordofan dan Bahr Al Ghazal. Bahkan International Crisis Group menjuluki Kordofan sebagai Darfur kedua karena kemungkinan konflik yang sangat besar antara Suku Nuba yang mendukung selatan dan Arab Baggara yang mendukung utara.

Front kedua terletak di Darfur, dengan kemungkinan konflik Darfur yang berlangsung sejak 2003 terus berlanjut paska gagalnya perundingan Doha. Sebenarnya ada kemungkinan front ketiga krisis kemanusiaan dalam skala lebih kecil, yaitu di timur Sudan, terutama di negara bagian Kassala, Al Qadarif dan Laut Merah antara suku Beja dan Arab Rashaida dengan tentara pemerintah Sudan.

Salah satu kamp pengungsian di Sudan, ada puluhan kamp pengungsi di seluruh penjuru Sudan

Selain perang, krisis kemanusiaan di Sudan diperkirakan juga akan terjadi akibat kekeringan berkepaanjangan yang sudah berlangsung sejak 10 tahun lalu. Kekeringan yang juga menjadi salah satu pemicu Perang Darfur pada 2003 tampaknya belum akan usai, bahkan ditakutkan semakin meluas. Dan di dua daerah konflik di Sudan (Darfur dan Timur Sudan) kekeringan ekstrim telah menambah penderitaan warga setempat.

Semoga saja referendum 9 Januari dapat berjalan lancar, dan apapun hasilnya tidak akan membuka pintu konflik baru di Sudan. Dan tugas bagi para penggiat kemanusiaan untuk turut memantau serta mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi di Sudan.

Referendum center di Sudan selatan

Sumber:

Al Jazeera

Reuters

Wikipedia

International Crisis Group