Sabtu, 16 April 2011

Nusantara (Bagian 1)

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Tuanku Muhammad Daudsyah Johan Berdaulat, Sultan Kesultanan Aceh Darussalam Terakhir

Permulaan abad 20 merupakan masa suram bagi Bangsa Melayu di seluruh kepulauan Nusantara. Pada tahun 1904, Kesultanan Aceh Darussalam yang merupakan salah satu negeri Melayu terkuat di Kepulauan Nusantara berhasil ditaklukan oleh Belanda setelah peperangan selama 31 tahun sejak 23 Maret 1873. Pada tahun 1902 Kesultanan Patani Darusalam yang sejak tahun 1875 diduduki oleh Kerajaan Siam akhirnya dihapuskan, bahkan pada tahun 1909 secara resmi kawasan Kesultanan Patani yang meliputi propinsi Patani, Narathiwat, Yala, Songkhla, dan Pathalung serta bagian utara Kesultanan Kedah, yang sekarang menjadi propinsi Satun secara resmi digabungkan ke dalam administrasi Kerajaan Siam. Kesultanan Patani Darussalam yang dulu sempat menjadi negeri Melayu terkuat di Semenanjung Malaya, dan bahkan hampir menaklukan Siam pada tahun 1563 di bawah kepemimpinan Sultan Muzhafar Shah akhirnya harus tunduk pada kekuasaan Kerajaan Siam.Tidak cukup sampai Patani, Kerajaan Siam bahkan sempat mengancam kedudukan Kesultanan Kelantan Darul Naim, Kerajaan Perlis Indera Kayangan, Kesultanan Terengganu Darul Iman dan Kesultanan Kedah Darul Aman.


Adalah perjanjian Anglo-Siam 1909 yang secara sepihak membagi – bagi tanah Melayu dalam kekuasaan Kerajaan Siam dan Inggris. Perjanjian yang dibuat secara sepihak tanpa memperhatikan aspirasi Bangsa Melayu tersebut menyerahkan kedaulatan Kesultanan Patani Darussalam dan bagian utara Kesultanan Kedah Darul Aman kepada Kerajaan Siam. Sedangkan Kesultanan Kelantan Darul Naim, Kesultanan Terengganu Darul Iman, Kesultanan Kedah Darul Aman dan Kerajaan Perlis Indera Kayangan diserahkan kepada Inggris. Bermula sejak itulah kebijakan Siamisasi diarahkan kepada Bangsa Melayu Muslim yang tinggal di Patani Darusalam dan Sentul (Satun).

Pada 1913 dua kesultanan Melayu di Pulau Mindanao pada akhirnya tunduk pada penjajahan Amerika Serikat setelah melalui perang sejak tahun 1898. Baru setelah tentara Amerika Serikat meniru taktik brutal Belanda ketika menghadapi semangat jihad rakyat Aceh, Bangsa Melayu di Kesultanan Sulu Darul Islam dan Kesultanan Maguindanao bisa takluk. Kesultanan Sulu Darul Islam merupakan salah satu negeri Melayu terkuat di timur kepulauan Nusantara. Kesultanan yang pernah menguasai sebagian besar Pulau Mindanao, Pulau Palawan, Kepulauan Sulu hingga Sabah dan bagian utara Kalimantan Timur ini berperang selama 375 tahun menghadapi penjajah Spanyol dan usaha Kristenisasi yang dibawanya. Lelah berperang dengan Bangsa Melayu, dan pemberontakan Bangsa Melayu Kristen di utara Philipina, Spanyol akhirnya menjual Philipina dan wilayah Kesultanan Sulu Darul Islam dan Kesultanan Maguindanao kepada Amerika Serikat pada tahun 1898 melalui Traktat Paris.

Kuburan Masal Pejuang Kesultanan Sulu Darul Islam dan Maguindanao

Masa – masa suram Bangsa Melayu pada awal abad ke 20 tersebut kemudian akan membangkitkan semangat Pan-Melayu dikalangan Bangsa Melayu yang tersebar di Kepulauan Nusantara, termasuk kawasan Philipina. Walaupun berkembang pesat paska perang dunia pertama, gagasan Pan-Melayu sudah muncul sejak abad ke 19. Adalah Jose Rizal, seorang Melayu Katholik asal Philipina yang merupakan salah satu pionir gagasan Pan-Melayu. Hal yang sangat menarik adalah, jika pada saat belakangan gagasan Pan-Melayu seringkali diidentikan sebagai gagasan anti Cina, justru pada masa awal kelahirannya gagasan ini di dukung oleh Jose Rizal yang juga merupakan keturunan campuran imigran Cina dari Quangzou dan Melayu Katholik. Sangat menarik untuk melihat perkembangan gagasan Pan-Melayu, atau juga sering dikenal sebagai Indonesia Raya,Melayu Raya dan Nusantara. Pada abad ke 19 gagasan ini mulai muncul di kalangan Bangsa Melayu Katholik di Kepulauan Philipina. Jose Rizal pernah mendorong penduduk Philipina untuk mempelajari bahasa Melayu untuk menguatkan akar Melayu penduduk Philipina yang mayoritas beragama Katholik. Namun pada awal abad ke 20 gagasan Pan-Melayu diadopsi oleh kelompok Islam. Adalah para pelajar Melayu dari Hindia Belanda dan British-Malaya di Universitas Al Azhar yang kemudian mengembangkan konsep Pan-Melayu pada tahun 1920-an. Media masa baik di Kairo, Penang, Sumatera hingga Jawa, seperti Suara Azhar di Kairo, Saudara di Penang, Pewarta Deli di Sumatera, Bintang Hindia, Pedoman Masjarakat dan Fikiran Rakjat di Jawa menjadi corong Pan-Melayu.

Jose Protasio Rizal Mercado, salah satu pioner gagasan Pan-Melayu. Dieksekusi Spanyol pada 1896 karena terlibat dalam Revolusi Philipina

Di bagian timur Nusantara, Wenceslau Quinito Vinzon pada tahun 1923 menulis essai-pidato berjudul Malaysia Irredenta yang mengemukakan gagasan negara Melayu raya yang meliputi seluruh Kepulauan Nusantara. Lebih jauh Wenceslau kemudian membentuk Perhempoenan Orang Melayoe. Perhimpunan ini menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar untuk menguatkan ikatan Ras Melayu penduduk Philipina. Termasuk anggota perhimpunan ini adalah Diosdado Macapagal, yang kelak pada tahun 1963 menjadi Presiden Philipina yang juga menjadi pengusul Maphilindo, federasi Malaysia, Philipina dan Indonesia, sebelum pecah konfrontasi antara Indonesia – Malaysia

Wenceslao Quinito Vinzon, Pengagum Jose Rizal sekaligus yang berusaha mewujudkan gagasan Pan-Melayu Jose Rizal. Dieksekusi tentara pendudukan Jepang pada tahun 1942

Gagasan Pan-Melayu di kawasan Melayu Islam tidak hanya diadopsi kelompok Nasionalis Islam, pada perkembangan, terutama paska pemberontakan kaum Komunis di Jawa dan Sumatera pada 1926 – 1927 gagasan Pan-Melayu juga kemudian didukung oleh kaum Komunis. Jika di Philipina ada Jose Rizal dan Wenceslau Quinito Vinzon, Kaum Nasionalis Islam memiliki Syaikh Mohd. Thahir Jalalludin, kaum Komunis memiliki Tan Malaka yang menyerukan Pan-Melayu.

Syaikh Mohd. Thahir Jalalludin, Ulama kelahiran Minangkabau yang merupakan murid dari Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, Syaikh Ahmad Al Fatani dan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha. Merupakan salah satu pendukung Pan-Melayu dari Penang.

Pada tahun 1930-an, gagasan Pan-Melayu lebih dominan dianut kelompok Komunis dan Sosialis. Sedangkan kelompok Islam sedikit terpinggirkan karena kesulitan mereka dalam mengimplementasikan konsep mereka tentang Pan-Melayu. Di sisi lain para pendukung Pan-Melayu melihat gerakan proletarian yang diusung kaum Komunis-lah yang akan banyak membantu mewujudkan sebuah negara Melayu Raya. Namun gagasan Pan-Melayu pada tahun 1930-an tidak eksklusif milik kaum Komunis. Muhammad Yamin seorang pendukung sosialisme yang sama – sama berasal dari Minangkabau seperti Tan Malaka adalah juga seorang pendukung gigih Pan-Melayu. Bahkan Soekarno juga menjadi pendukung Pan-Melayu walaupun tidak seterbuka Tan Malaka dan Muhammad Yamin.

Muhammad Yamin, salah satu Tokoh Pan-Melayu paling gigih di Hindia Belanda

Satu lagi kelompok yang berperan dalam perjungan gagasan Pan-Melayu pada tahun 1930-an adalah kaum fasis Indonesia. Partai Indonesia Raya di bawah pimpinan dr. Sutomodan Partai Fasis Indonesia di bawah pimpinan dr. Notonindito. Walaupun Partai Indonesia Raya lebih tertutup dalam mengadopsi fasisme, namun kedua partai kaum fasis Hindia Belanda ini memiliki kesamaan, yaitu mendasarkan perjuangan Pan-Melayu pada feodalisme dan romantisme masa Majapahit. Bahkan lebih jauh Partai Fasis Indonesia memimpikan Nusantara yang akan disatukan di bawah naungan seorang raja dari dinasti Penembahan Senopati.

Pengurus Partai Indonesia Raya

Ide Pan-Melayu secara luas diterima bahkan dipropagandakan pada masa penjajahan Jepang. Kelompok pro Pan-Melayu di Semenanjung Malaya yang tergabung dalam KMM (Kesatuan Melayu Muda) di bawah pimpinan Ibrahim bin Haji Yaakob mencoba memperjuangkan Pan-Melayu dengan berkolaborasi dengan Jepang. Di Hindia Belanda pun, penjajahan Jepang dilihat sebagai peluang untuk mewujudkan cita-cita Pan-Melayu, yaitu mendirikan negara Melayu Raya.

Usaha paling nyata untuk merealisasikan cita-cita Pan-Melayu adalah yang dilakukan oleh Muhammad Yamin dalam sidang BPUPKI. Saat itu Muhammad Yamin mengusulkan mengenai wilayah negara Indonesia yang akan berdiri harus mencakup seluruh kawasan Hindia Belanda, New Guinea, Borneo Utara, Semenanjung Malaya dan Timor Portugis. Usulan Muhammad Yamin ini didukung oleh banyak anggota BPUPKI, termasuk Sukarno yang menyatakan bahwa ada tiga orang utusan dari Singapura dan Letkol Abdullah Ibrahim dari Semenanjung Malaya (Ibrahim bin Haji Yaakob) juga mendukung gagasan tersebut. Bahkan Mohammad Hatta yang lebih mendukung bahwa Indonesia hanya akan mencakup Hindia Belanda saja tidak menolak usulan Muhammad Yamin tersebut. Dalam voting usulan Muhammad Yamin diterima 39 anggota dari 62 anggota BPUPKI, yang pada akhirnya menjadikan gagasan Pan-Melayu minus Philipina dijadikan bagian rekomendasi BPUPKI bagi pembentukan negara Indonesia.

Ibrahim bin Haji Yaakob. Pimpinan KMM, setelah pendaratan Inggris ke Semenanjung Malaya, beliau mengikuti saran Sukarno untuk pindah dan berjuang dari Jawa untuk kemerdekaan Indonesia Raya

Pada 29 Juli 1945 dengan dukungan militer Jepang, Ibrahim bin Haji Yaakob mulai menyiapkan kongres Pemuda Melayu yang akan diadakan pada 16 dan 17 Agustus 1945 di Kuala Lumpur. Kongres tersebut bertujuan untuk menyatakan dukungan dari rakyat Semenanjung Malaya terhadap kemerdekaan Indonesia, menyatakan keinginan rakyat Semenanjung Malaya untuk bersatu dengan Indonesia dan memilih delegasi untuk hadir dalam upacara kemerdekaan Indonesia.

Pimpinan KMM

Bersamaan dengan itu Ibrahim bin Haji Yaakob mulai mempersiapkan pembentukan pemerintahan interim tanpa sepengetahuan Jepang. Pemerintahan interim tersebut akan diumumkan pada saat yang sama saat proklamasi kemerdekaan Indonesia. Termasuk dalam pemerintahan interim itu adalah Sultan Perak, Sultan Pahang, Sultan Johor, Datuk Onn bin Jafar, Datuk Abdul Rahman Johor, Datuk Husain Muhammad Taib Pahang, dan Raja Kamarulzaman Raja Mansor Perak.

Sultan Abdul Aziz dari Perak bersama Raja Perempuan Khadijah.

Ibrahim bin Haji Yaakob juga membentuk delegasi sebanyak 8 orang yang akan hadir dalam upacara kemerdekaan Indonesia, yaitu perwakilan dari sultan – sultan Semenanjung Malaya yang terdiri dari Sultan Abdul Aziz Perak dan 3 sultan lain, serta 4 aktivis KMM, yaitu Ibrahim bin Haji Yaakob, dr Burhanudin, Onan Haji Siraj dan Hassan Manan.


Ketika pada 8 Agustus 1945 rombongan Sukarno dan Hatta transit di Singapura dalam perjalanan menuju Saigon mereka disambut anggota KMM, yaitu Hassan Manan, Pacik Ahmad dan Onan Haji Siraj yang kembali menyatakan keinginan rakyat Semenanjung Malaya bergabung dengan Indonesia. Bahkan aktivis KMM mengibarkan bendera merah putih di beberapa tempat di Singapura, salah satunya di atas bangunan bioskop Cathay.

Pertemuan Taiping 12 Agustus 1945. Dari kiri ke kanan: Prof. Akamatsu, Muhammad Hatta, Pakcik Ahmad, Radjiman Widiodiningrat (Katua BPUPKI), Sukarno, Ibrahim bin Haji Yaakob (Ketua KMM), Prof. Yoichi Itagaki

Sepulang dari Saigon, pada 12 Agustus 1945 rombongan Sukarno – Hatta bertemu dengan Ibrahim bin Haji Yaakob bersama Jenderal Umezu dan Itagaki di Taiping. Dalam pertemuan tersebut Ibrahim bin Haji Yaakob bersama beberapa aktivis KMM melaporkan persiapan kemerdekaan rakyat Semenanjung Malaya di dalam naungan Indonesia Raya. Ibrahim Haji Yaakob juga mengusulkan bahwa kemerdekaan Semenanjung Malaya akan dideklarasikan pada akhir agustus, bersamaan dengan kemerdekaan Indonesia, dan utusan 8 orang dari Semenanjung Malaya akan menghadiri deklarasi kemerdekaan Indonesia.

Menanggapi usulan Ibrahim bin Haji Yaakob tersebut Sukarno menyatakan, “Mari kita wujudkan tanah air untuk seluruh etnis Indonesia”. Ucapan Sukarno ini ditanggapi oleh Ibrahim, “Kami orang Melayu akan berteguh hati mewujudkan tanah air dengan menyatukan Malaya dengan Indonesia. Kami orang Melayu ditakdirkan untuk menjadi Bangsa Indonesia”


Sementara itu di hotel Station Kuala Lumpur, utusan organisasi Melayu berdatangan dari seluruh Semenanjung Malaya, bahkan juga dari Patani, Singapura dan Kepulauan Riau. Walaupun sabotase dari anggota MPAJA (Malayan People Anti Japanese’s Army) yang mayoritas anggotanya berasal dari etnis Cina dan kaum Komunis, perwakilan organisasi – organisasi Melayu tetap berusaha datang ke Kuala Lumpur.

(Bersambung...)

Rujukan:

Cheah Boon Kheng, 1979, Jurnal Indonesia Volume 28, The Japanese Occupation of Malaya, 1941 - 1945: Ibrahim Yaacob and The Strugle for Indonesia Raya, Cornel University.

Graham K. Brown, 2005, The Formation and Management of Political Identities: Indonesia and Malaysia Compared, University of Oxford.

Greg Poulgrain, 1998, The Genesis of Konfrontasi: Malaysia, Brunei and Indonesia 1945-1965, C. Hurst & Co. Ltd

Harry A. Poeze, 2008, Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid 1, Koninklijk Instituut voor Taal, Land, en Volkenkunde

Riwanto Tirtosudarmo, 2005, The Orang Melayu and Orang Jawa in the Lands Below the Winds, University of Oxford

http://alifrafikkhan.blogspot.com/2009/08/partai-fascist-indonesia-pfi-dan.html

http://blog.nus.edu.sg/hy4210/2010/10/18/japanese-occupation/

http://lazacode.com/organizations/kesatuan-melayu-muda-history

http://www.geocities.ws/prawat_patani

http://www.angelfire.com/id/sidikfound/moro.html

http://www.usm.my/index.php/about-usm/news-archive/66-news-highlight/6025-MALAYS-NEED-TO-BE-WISE.html

http://www.wikipedia.org/

Sumber foto:

http://belajarsejarah.com/

http://sembangkuala.wordpress.com/2010/07/24/31st-sultan-of-perak-sultan-abdul-aziz-mu%E2%80%99tassim-billah-shah-ibni-almarhum-raja-muda-musa-i-1938-1948/

1 komentar: