Sabtu, 18 Agustus 2012

Ibrah Ramadhan: Umat Muslim Sebagai Rahmatan lil ‘alamin


Ibrah Ramadhan: Umat Muslim Sebagai Rahmatan lil ‘alamin
Oleh: Rendy Dwi Novalianto S.I.P.

5 Agustus 2012 sebuah Gurdwara Sikh di Oak Creek, Wisconsin ditembaki oleh seorang yang diduga terinspirasi doktrin supremasi kulit putih. Tujuh orang yang sedang beribadah di dalam Gurdwara tersebut tewas.  Beberapa hari kemudian pada 7 Agustus, anggota parlemen dari partai Republik Joe Walsh mengeluarkan pernyataan berbau rasis saat pertemuan di balaikota Elk Grove, Illionis. Ia menyatakan bahwa kaum Muslim “mencoba membunuh warga Amerika tiap hari”. Menurutnya umat Muslim merupakan ancaman nyata bagi Amerika, dan ancaman dari Muslim di dalam negeri Amerika jauh lebih nyata dari sebelum serangan 9/11.

Selama awal agustus 2012 setidaknya terjadi 7 serangan terhadap tempat ibadah kelompok minoritas yang berasal dari Timur Tengah dan Asia Selatan di Amerika Serikat. Salah satunya sebuah Masjid di Joplin, Missouri dibakar habis oleh orang tak dikenal pada 6 Agustus lalu. Serangan tidak terbatas pada Masjid, Gereja The Mother of Savior yang digunakan oleh kaum Kristen Arab di Deaborn, Michigan dalam minggu ini dua kali kaca-kacanya dipecahkan.

Serangan-serangan terhadap minoritas yang terjadi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa di negara dengan demokrasi yang cukup matang dan perlindungan hak-hak minoritas yang cukup baik dalam konstitusinya masih rentan terhadap permasalahan rasisme. Perjuangan untuk kesetaran ras telah menempuh perjalanan panjang dan berliku di Amerika Serikat, namun sebagian masyarakat Amerika Serikat tampak masih belum bisa mengakomodasi perbedaan. 

Islamophobia yang menjadi isu hangat selama masa kampanye pemilu presiden tahun 2008 kembali menghangat pada kampanye pemilu presiden tahun ini. Namun sayangnya kampanye Islamophobia ini tidak hanya berakibat pada umat Muslim Amerika Serikat saja, tetapi juga menyasar pendatang dari Asia Selatan dan Timur Tengah secara umum, baik Muslim, maupun non-Muslim.

Jika di Amerika Serikat kebencian rasial ditujukan kepada pendatang dari Asia Selatan dan Timur Tengah, di Indonesia kebencian rasial ditujukan kepada etnis Tionghoa, suku-suku Papua, selain itu diskriminasi juga ditujukan kepada penganut Ahmadiyah dan penganut Kristen. Sebagai sebuah negara berpenduduk mayoritas Muslim, Indonesia harusnya bisa melindungi hak-hak minoritas, menjamin penghormatan terhadap keberbedaan yang hidup di dalam kerangka keindonesiaan.

Umat Muslim Indonesia terikat pada ajaran-ajaran syariat Islam yang memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Oleh karena itu Umat Muslim Indonesia harusnya bisa mengayomi kelompok-kelompok minoritas, bukan berusaha menunjukkan supremasi dan hegemoni atas kelompok-kelompok minoritas.

Insiden penyerangan Klenteng yang merupakan tempat ibadah etnis Tionghoa di Makassar yang dilakukan FPI setelah demonstrasi solidaritas Rohingya dan penyerangan terhadap masjid-masjid Ahmadiyah selama Ramadhan di Kuningan menunjukkan bagaimana umat Muslim Indonesia belum bisa menjadi mengayomi minoritas. Adalah sangat memalukan umat Muslim ketika penyerangan oleh kelompok-kelompok umat Muslim tersebut dilakukan saat bulan suci Ramadhan. Bulan ketika umat Muslim didorong untuk mempromosikan solidaritas sosial, bulan ketika umat Muslim berlatih menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Kelompok-kelompok supremasi Muslim tersebut pada dasarnya gugup dan tidak yakin pada pondasi keimanan mereka, sehingga mereka merasa perlu menunjukkan semangat keimanan semu merek dengan menyerang kelompok-kelompok lain yang berbeda dengan mereka. Syariat Islam tidak pernah mengajarkan untuk mempromosikan kekerasan terhadap minoritas. Bukankah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam mengajarkan kepada kita bahwa siapa pun dari kalangan Muslim yang membunuh kafir dzimmi, kafir yang dilindungi maka ia tak akan mencium bau surga? 

Bulan Ramadhan yang seharusnya menjadi bulan saat kita menahan emosi kita justru tampaknya tidak bisa mengekang amarah sejumlah kelompok yang mengatas namakan Islam.  Bukankah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam juga pernah bersabda hingga tiga kali, “jangan marah”? tapi mengapa umat Muslim sekarang tampak gampang sekali disulut kemarahannya?

Hal penting yang perlu ditekankan adalah menunjukkan solidaritas berbeda dengan melampiaskan amarah. Solidaritas kita terhadap umat Muslim Rohingya tidak mewajibkan kita untuk menyerang tempat-tempat ibadah umat Buddha, pun demikian solidaritas kita terhadap Sunni Syria tidak mewajibkan kita menyerang Syiah Indonesia, juga solidaritas terhadap Palestina tidak paralel dengan sikap diskriminatif terhadap Yahudi Indonesia. Solidaritas bisa ditunjukkan dengan mendoakan, menggalang bantuan kemanusiaan dan kampanye kesadaran terhadap penderitaan umat Muslim, sambil tetap menjaga dan melindungi minoritas yang hidup di Indonesia.

Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam teladan kita semua pernah bersabda, “Barangsiapa yang tidak mengasihi yang ada di bumi, maka ia tak akan dikasihi yang ada di langit”. Dalam hadits mulia ini, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam memparalelkan kasih kita terhadap sesama, baik Muslim maupun non-Muslim, terhadap hewan, tumbuhan dan lingkungan hidup dengan kasih Allah ‘Azza wa Jalla.
Ajaran kasih Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam ini harusnya menjadi inspirasi bagi kita umat Muslim, untuk menjadi sebenar-benarnya Rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi sekalian alam. Rahmat berarti anugrah kasih, penebar manfaat, pelindung dan penjaga seluruh alam. Rahmatan lil ‘alamin tidak membeda-bedakan kasihnya, apakah hanya kepada sesama saja. Bahkan rahmatan lil ‘alamin mewajibkan umat Muslim untuk menebarkan kasih bagi mereka yang berbeda dengannya.

Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam juga pernah bersabda kepada sahabat-sahabatnya bahwa mereka tak akan beriman hingga mereka saling mengasihi, saling menjadi rahmat satu dengan lainnya. Para sahabat kaget dan bertanya bukankah mereka sudah saling kasih-mengasihi sesama mereka?. Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam menjawab bahwa maksudnya bukan itu, ia bersabda tak akan beriman salah seorang dari kalian hingga ia  bisa mengasihi, bisa menjadi rahmat tidak saja kepada mereka yang sama, sepaham, sesuku, satu ras, satu golongan dengannya, tapi juga bisa mengasihi, menjadi rahmat dan pelindung mereka yang berbeda dengannya.

Selama Ramadhan yang baru saja berlalu kita telah ditempa untuk menjadi Muslim sejati. Muslim yang memiliki solidaritas sosial dan kasih kepada sesama dan kepada yang berbeda. Selama Ramadhan kita diajarkan untuk menahan amarah, mengendalikan emosi kita. Singkat kata selama Ramadhan kita dilatih untuk menjadi rahmatan lil ‘alamin.

Seharusnya selama Ramadhan kita juga bisa mengendalikan lisan kita dari menghujat mereka yang berbeda dengan kita. Bukankah dakwah bisa dilakukan dengan hikmah? Ataukah dalam benak kita sudah tertanam bahwa dakwah harus dengan cara menghujat mereka yang berbeda dengan kita?.  Esensi ajaran Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin juga mewajibkan umat Muslim sebagai mayoritas untuk menjadi pengayom, menjadi pelindung sekaligus panutan bagi kelompok-kelompok minoritas. Namun sangat disayangkan selama Ramadhan kemarin kita disuguhkan berbagai ceramah yang memojokkan sejumlah pihak, mulai menghina dan menghujat Wahabi hingga ceramah-ceramah rasis yang ditujukan kepada etnis Tionghoa, yang celakanya dilakukan di masjid-masjid yang harusnya menjadi corong rahmat, bukan corong fitnah.

Dengan berlalunya ramadhan kali ini, semoga kita umat Muslim bisa mengambil pelajaran berharga untuk pendewasaan kita agar dapat menjadi sebenar-benar rahmatan lil ‘alamin.  Menjadi Muslim yang menghormati hak-hak minoritas, menjadi rahmat bagi mereka yang berbeda dengan kita, dan menjadi pengayom serta contoh di dalam kehidupan bernegara, sehingga Indonesia dapat menjadi baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur. Negara yang sejahtera, aman, makmur, yang dirahmati Tuhan yang maha pengampun.

Sholat Ied pagi nanti akan menunjukkan bagaimana secara kuantitas umat Muslim sudah superior, namun yang belum bisa ditunjukkan oleh umat Muslim Indonesia adalah superioritas umat Muslim dalam kebaikan, dalam perlindungan hak-hak sipil, perlindungan minoritas, superioritas dalam solidaritas kemanusiaan dan perjuangan untuk kesetaraan demi Indonesia yang lebih baik.

Seiring dengan syahdunya gema takbir yang membahana malam ini, mari kita sekali lagi renungkan pesan-pesan kasih dan egaliterianisme ajaran Islam. Apakah kita mau menjadi seperti kelompok supremasi kulit putih di Amerika Serikat yang menunjukkan superioritasnya dengan meneror kelompok yang berpenampilan, berbudaya dan berkeyakinan berbeda dengan mereka, atau dengan menjadi rahmat bagi mereka yang berbeda, sebagai manifestasi sebenar-benarnya rahmatan lil ‘alamin.

Akhir kata, Taqabalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum, qiyamana wa qiyamakum. Semoga Allah yang Maha Kasih menerima amal ibadah kita semua, puasa kita semua dan sholat malam kita semua selama bulan penuh rahmat ramadhan yang baru saja berlalu. Selamat ‘Idul Fitri 1433 H, semoga paska Ramadhan kita bisa menjadi sebenar-benarnya rahmatan lil ‘alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar